Yopi Makdori
“Another head hangs lowlyChild is slowly takenAnd the violence caused such silenceWho are we mistakenBut you see it's not meIt's not my familyIn your head, in your head they are fightingWith their tanks and their bombsAnd their bombs and their gunsIn your head, in your head they are cryingIn your head, in your head zombie, zombie, zombie.” ~Zombie-The Cranberries.
Secara garis besar beberapa di antara kita mungkin sudah mengetahui awal mula konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina. Konflik antar kedua negara tersebut banyak yang menganggapnya sebagai konflik paling rumit dan sulit untuk diselesaikan—kalau tak mau dibilang mustahil. Bahkan Walter Laqueur dalam bukunya Israel-Arab Reader (1970) menuliskan “If God, as some say, is dead, He no doubt died of trying to find on equitable solution to Arab-Jews problem”. Hal tersebut menggambarkan (satire) bahwa betapa rumitnya konflik yang terjadi antara kedua negara tersebut.
Namun demikian, banyak yang melihat konflik yang terjadi di sana merupakan ulah dari Israel dan menempatkan posisi antagonis untuk negara tersebut. Israel selama ini memang dikenal sebagai negara yang cukup nakal—kalau tak mau dibilang biadab. Pasalnya negara ini telah berkali-kali melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam tatanan internasional (international orders).
Banyak resolusi PBB yang bisa negara ini hindari berkat bantuan dari kawan setianya, Amerika Serikat. Selain itu, negara ini juga kerap kali melakukan berbagai tindakan biadab terhadap bangsa Palestina, seperti agresi terhadap warga sipil di Palestina dan masih banyak lagi alasan yang menjadikan negara ini mendapatkan label “negara nakal”.
Kenakalan pertama dimulai sejak berdirinya negara tersebut—15 Mei 1948, bagai Israel hari itu merupakan hari kelahiran negaranya, berbeda dengan bangsa Palestina yang menganggap bahwa hari itu sebagai hari Yaum an-Nakbah, yang berarti “Hari Kehancuran”. Pada saat peristiwa itu terjadi, 78% tanah Palestina dirampas oleh Israel dan hanya tersisa 22% untuk bangsa Arab Palestina dan terbagilah Palestina menjadi 3 daerah, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Al-Quds bagian timur.
Sebelumnya pada tahun 1947, Majelis Umum PBB telah mengeluarkan sebuah resolusi yang tidak mengikat (non-binding recommendation) nomer 181 yang berisi pembagian tanah Palestina masing-masing 55% untuk bangsa Yahudi dan 45% untuk bangsa Arab. Padahal di saat yang sama, Yahudi hanya memiliki kurang dari 7% tanah di Palestina, sedangkan bangsa Arab mencapai 87%.
Melihat kondisi tersebut praktis saja negara-negara Arab, terutama bangsa Palestina sendiri menolak pembagian wilayah yang direkomendasikan oleh PBB. Penolakan tersebut berujung pada meletusnya perangan antara Israel dan negara-negara Arab. Sebelumnya, Inggris sebagai sekutu dekat bangsa Israel telah menyelundupkan berbagai persenjataan kepada para kelompok paramiliter zionis, seperti Haganah dan Irgun (dipimpin oleh David Ben-Gurion dan Menachem Begin) untuk melakukan oprasi sistemik melawan penduduk-penduduk Palestina. Operasi tersebut menggunakan berbagai taktik, seperti pembantaian, pemerkosaan, dan perang psikologis. Karena hal tersebut, banyak penduduk Palestina yang menjadi pengungsi untuk menghindari mimpi buruk yang menimpa negerinya (Intercommunity Peace & Justice Center Publication).
Pasca perang Arab-Israel (yang sangat tidak logis dimenangkan oleh Israel), sebanyak 400 kampung-kampung penduduk Palestina dihancurkan oleh tentara Israel dan lebih dari 77% wilayah Palestina (berdasarkan tolak ukur British Mandate) dianeksasi oleh Israel (Kräme, 2008). Sebanyak 750.000 rakyat Palestina terusir dari tempat tinggalnya—baik menjadi IDP (internally displace person) maupun menjadi pengungsi di negara-negara tetangga, seperti Jordan, Lebanon dan Syria.
Di bulan Desember 1948, Majelis Umum PBB meloloskan Resolusi 194 yang merekomendasikan hak kembalinya pengungsi Palestina ke negerinya atau memberikan kompensasi bagi mereka yang tidak menginginkan kembali. Meskipun resolusi tersebut dikuatkan dengan resolusi-resolusi lain, seperti Resolusi 169 dan 237, namun Israel menolak hak warga Palestina untuk kembali ke negerinya.
Israel memang tercatat sebagai negara paling banyak melanggar resolusi PBB, lebih dari 30 resolusi PBB (sejak 1967) yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB telah dilanggar oleh negara ini. Termasuk resolusi mengenai pembersihan pemukiman Yahudi di Tepi Barat, termasuk Jerusalem Timur; mengembalikan Dataran Tinggi Golan dan Jerusalem Timur yang telah dianeksasi bangsa itu; dan mengizinkan International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk menginspeksi fasilitas pengembangan senjata nuklirnya.
Menurut Konvensi Jenewa Keempat, Israel merupakan “Occupying Power” di Tepi Barat, Gaza, dan Jerusalem Timur (meskipun telah melepaskan Gaza pada 2005, wilayah tersebut tetap dikontrol secara efektif oleh Israel—oleh karena itu menurut hukum internasional Israel masih menjadi “Occupying Power”). Sebagai entitas Kekuatan Pendudukan, Israel telah melanggar Konvensi Jenewa Keempat secara terus-menerus sejak 1967.
Hal tersebut masih berlanjut hingga saat ini, sebagai contoh blockade ekonomi Gaza yang berlawanan dengan Artikel 33 konvensi tersebut; penghancuran properti di wilayah pendudukan yang praktis melanggar Artikel 53; dan pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat, termasuk Jerusalem Timur, jelas melanggar Artikel 49. Tak hanya itu, Israel juga sudah dengan jelas melanggar UN Charter Artikel 2.4 yang menerangkan:
“All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations”
Israel jelas mengancam Palestina, bahkan sekarang Iran, ditambah lagi pesawat tempur milik negara zionis ini juga kerap kali memasuki wilayah udara Lebanon yang sudah jelas aksi tersebut melanggar UN Charter Artikel 2.4.
Pada Juli 2004, International Court of Justice (ICJ) memutuskan bahwa pembangunan Tembok (sering disebut Apartheid Wall) yang dilakukan oleh Israel di Tepi Barat “bertentangan dengan hukum internasional” dan meminta negara itu supaya membongkar Tembok Apartheid-nya. Pada Agustus di tahun yang sama, Majelis Umum PBB meloloskan sebuah resolusi yang berisi bahwa Israel harus tunduk pada keputusan ICJ tersebut—150 negara setuju dengan resolusi tersebut, hanya 6 negara yang menolak, yaitu Amerika Serikat Australia, Israel, Marshall Islands, Micronesia, dan Palau (SADAKA Briefing). Namun, Israel memilih untuk tidak tunduk terhadap keputusan-keputusan tersebut dan terus melakukan pembangunan Tembok Apartheid-nya hingga saat ini.
Sejak Hamas mengontrol wilayah Gaza (pada Juni 2007), Israel menerapkan pembatasan yang keras terhadap wilayah tersebut, termasuk hampir melarang total ekspor dari wilayah tersebut yang berimbas pada kemustahilan pembangunan ekonomi di Gaza. Pada Desember 2008 hingga Januari 2009, pasukan militer Israel secara intensif melakukan serangan ke wilayah Gaza yang menyebabkan 1,400 warga Palestina meninggal dan menghancurkan banyak infrastruktur komersil dan industri di sana. Lebih parah, Israel juga melarang impor material bangunan ke wilayah Gaza sehingga membuat rekonstruksi di sana mendekati mustahil.
Pada Desember 2008, Israel juga telah berbohong dengan mengatakan bahwa tidak ada alternatif lain selain melancarkan Operation Cast Lead terhadap Gaza untuk menghentikan serangan roket Hamas dari wilayah tersebut. Faktanya, masalah sudah terselesaikan dengan genjatan senjata yang diperantarai oleh Mesir, yang mana Hamas menghormati genjatan senjata tersebut. Genjatan senjata tersebut berlaku efektif dari tanggal 19 Juni hingga 4 November 2008, namun Israel melanggar genjatan senjata tersebut pada 4 November 2008, tepat saat masyarakat dunia menyaksikan terpilihnya Barack Obama (SADAKA Paper).
Stempel Bangsa Nakal
Alasan-alasan yang telah dipaparkan di atas bagi saya sudah lebih dari cukup untuk memberi label kepada negara zionis tersebut sebagai “negara nakal” (biadab). Itulah alasan utama negara nakal tersebut selalu mendapat kritikan dari berbagi pihak. Jadi perlu digarisbawahi bahwa Israel banyak mendapat kritik disebabkan karena negara ini telah menduduki wilayah yang sangat luas milik bangsa Palestina. Selama lebih dari 45 tahun negara ini melakukan pendudukan, aneksasi dan kolonialisasi terhadap bangsa Palestina dan hal ini merupakan alasan utama mengapa ia selalu mendapat banyak kritikan tajam.
Terakhir, Yasser Arafat (Abu Ammar) pernah berkata berikut:
“We are not against the Jews. On the contrary, we are all Semites, and we have been living with each other in peace and fraternity, Muslims, Jews and Christians, for many centuries … It is one of the aims of our movement to liberate the Jews, themselves, from the domination of Zionism”. (Schmidt dalam The New York Times, 1968)
Ucapan Arafat sebagai penegasan bahwa tatkala kita mengkritik zionis Israel bukan berarti kita anti terhadap Yahudi, yang kita serang zionisme dengan aksi biadabnya terhadap bangsa Palestina bukan Yahudi itu sendiri.
REFERENSI
Dan Adams Schmidt, The New York Times, 3 Desember 1968, Hal. 6
Intercommunity Peace & Justice Center. “Israel and Palestine: History, Politics and the Pursuit of Peace”. https://www.ipjc.org/publications/Israel_and_Palestine-Pursuit_of_Peace.pdf. diunduh pada 31 Juli 2017
Krämer, Gudrun. A History of Palestine; From the Ottoman Conquest to the Founding of the State of Israel. Translated by Graham Harman and Gudrum Krämer, 2008.
SADAKA Briefing: The International Court of Justice and the Wall
SADAKA Paper: The Israel-Hamas ceasefire (19 Jun 2008 – 4 Nov 2008)
What's in your head, in your head, zombie?.” ~Zombie-The Cranberries