Muhammad
Iskandar Syah
“Coba saling membantu untuk menderma hilangkan semua sifat para dergama saling menindas, membuat jatuh air mata, mementingkan ego diri untuk harta semata. Kepedihan hati kini terus menyayat atas semua diskriminasi yang engkau buat, yang kecil pun bagai terkurung dalam jeruji besi, janji yang kau beri tak terealisasi.” ~Hilangnya Alegori-Explicit Verbal.
Berbicara
tentang nasionalisme maka seakan-akan kita diajak untuk mengenang perjuangan
para pendiri bangsa terdahulu. Di dalam setiap perjuangannya banyak yang telah
mereka korbankan, demi sebuah kata kemerdekaan. Namun sayangnya makna
nasionalisme saat ini seakan menjadi sangat sempit, kalau tak mau dibilang kabur.
Nasionalisme
pada dasarnya sebuah paham, karakter dasar sebuah paham adalah ia melekat di
dalam pikiran penganutnya, dan penganut nasionalisme adalah penduduk sebuah
negeri. Paham ini pada dasarnya meletakkan penghambaan tertinggi kepada
“nation-state”. Terkadang menganggap manusia dari “nations” lain lebih
rendah derajatnya dibandingkan bangsanya.
Nasionalisme merupakan ikatan
kebangsaan yang dia hanya ada di dalam pikiran para penganutnya, tak bisa
dilihat, dirabah, apalagi dicium baunya. Namun demikian, paham ini bisa
diproyeksikan oleh para penganutnya. Saat ini berbagai bentuk proyeksi
nasionalisme berusaha ditunjukkan oleh masyarakat Indonesia, terutama di
kalangan anak mudanya.
Mulai dari menggunakan batik, menghormati simbol-simbol
negara, menikmati produk-produk lokal, mulai dari film hingga hasil pertanian,
dan lain sebagainya. Hal demikian sesungguhnya bukanlah suatu kesalahan,
justru kalau kita lihat efeknya secara ekonomi, maka dengan menggunakan produk-produk
yang katanya “lokal” bisa sangat membantu bagi perekonomian Tanah Air.
Dalam
tulisan ini saya hendak menekankan kritikan saya kepada oknum-oknum yang
mengklaim paling nasionalis dibandingkan kelompok lain dan menganggap kelompok
lain sebagai kelompok yang tidak cinta terhadap Indonesia—di dalam tulisan ini
saya mencoba menyederhanakan makan nasionalisme sebagaimana anggapan umum,
yaitu cinta terhadap tanah air atau bangsa (dalam hal ini cinta Indonesia). Padahal makna sebenarnya jauh lebih luas dari pada itu.
Merasa Paling Nasionalis
Oknum-oknum ini
mereduksi makna cinta terhadap Tanah Air menjadi aktivitas-aktivitas simbolik.
Maka sesungguhnya, oknum-oknum tersebut terjebak dalam nasionalisme ilusi.
Mereka menganggap bahwa aktivitasnya merupakan bentuk kecintaan terhadap bangsa, dan hal tersebut berkali-kali dicontohkan oleh media bahwa nasionalisme
yang benar itu begini dan begitu.
Padahal kita tahu bahwa para pahlawan kita dulu
berjuang demi kemerdekaan pada dasarnya untuk membebaskan rakyat dan menjung-jung
harkat dan martabat rakyat di negeri ini. Negara hanya sebuah alat untuk
menerjemahkan cita-cita mulia tersebut. Dengan demikian, sepatutnya kita
memaknai nasionalisme degan menunjukan kepedulian terhadap para penghuni negara
ini, karena pada dasarnya semangat nasionalisme itu datang dari keresahan para
pahlawan kita tatkala melihat ketidakadilan yang menimpa rakyat di negara ini
dan mereka menciptakan negara sebagai alat untuk menghilangkan ketidakadilan
tersebut.
Memaknai
nasionalisme bukan hanya tentang memakai baju batik, ataupun penghormatan
terhadap simbol-simbol negara, lebih agung dari itu pemaknaan nasionalisme
harus berlandaskan kepada cita-cita untuk mengangkat harkat dan martabat dan
menghilangkan ketidakadilan rakyat di negeri ini. Jadi selama seseorang itu
peduli akan kondisi rakyat di negeri ini, meskipun ia tidak pernah memakai
batik ataupun menunjukan penghormatan terhadap simbol-simbol negara berarti
pada dasarnya ia mencintai negeri ini dengan tulus. Sebaliknya, meskipun
seseorang itu sering memakai batik dan menghormati simbol-simbol negara bahkan
sampai menyembahnya, namun jika dia acuh terhadap rakyat bahkan justru
memperdaya rakyat, maka sebenarnya dialah musuh negara sesungguhnya.
“Berakhir sudah saling sikut-menyikut cukup sudah buat orang tak bersalah menjadi takut, saat semua kalut, saat semua tak beres agar tak ada lagi air mata jatuh menetes.” ~Hilangnya Alegori-Explicit Verbal