Ilustrasi: Pxfuel.com
Muhammad Iskandar Syah
Sebagai anak muda sering kita dijejali oleh slogan mewah nan besar yang tak jarang memekakkan gendang telinga tentang sebuah pengabdian kepada Ibu Pertiwi. Bagi mereka yang mempunyai semangat juang dan kepedulian yang tinggi tentu saja hal ini sebagai cambuk untuk menstimulus semangat.
Sebagai anak muda sering kita dijejali oleh slogan mewah nan besar yang tak jarang memekakkan gendang telinga tentang sebuah pengabdian kepada Ibu Pertiwi. Bagi mereka yang mempunyai semangat juang dan kepedulian yang tinggi tentu saja hal ini sebagai cambuk untuk menstimulus semangat.
Sedangkan bagi mereka yang tengah asik dengan dunianya [dunia ku/"me generations"], akan bersikap masa bodoh, atau justru "pengang" mendengar slogan-slogan yang bagi mereka itu sudah kadaluwarsa untuk terus didengungkan. Meskipun begitu, kelompok "me generations" ini bukan berarti tidak memiliki semangat cinta terhadap negeri, melainkan berbeda penafsiran dengan mereka yang tergabung dalam kelompok "Pecinta Ibu Pertiwi Garis Tegas".
Bagi mereka, manifestasi dari slogan pengabdian kepada negeri ialah ketika perut sudah terisi penuh, sandang tercukupi, karier terjamin, dan seterusnya. Setelah itu, baru mengabdi kepada negeri dengan caranya, kerja di BUMN-lah, jadi pejabat tinggilah, ngasih sedekah ke pengemislah dan lainnya yang dirasa ringan namun bisa ditafisrkan sebagai sebuah usaha dari pengabdian.
Ada juga kelompok aktivis mahasiswa yang tergabung ke dalam golongan "takfiri garis lada-lede". Kelompok ini selalu mengklaim bahwa pihaknyalah yang paling mencintai negeri, sedangkan kelompok lain dipersepsikan oleh mereka adalah salah alias kafir atau ingkar untuk mengabdi kepada negeri.
Slogan yang selalu mereka kumandangkan adalah "Ibu Pertiwi Harga Mati", namun mereka tidak paham dengan apa yang didengungkan. Bagi mereka yang terpenting Ibu Pertiwi Harga Mati dan tidak mau ambil pusing dengan makna dibalik slogan tersebut. Miris memang, sebagai intelektual kelompok takfiri lada-lede ini terkadang sulit untuk diajak diskusi.
Lalu apakah salah? Bagi saya tidak ada yang salah toh mereka berjuang untuk negeri ini dengan caranya masing-masing, yang salah adalah mereka yang buta. Buta untuk bisa melihat realitas saat ini bahwa kita sedang diadu-domba oleh para bajingan yang tengah merampok negeri ini. Mata kita tengah disibukkan untuk mengawasi gerak-gerik saudara kita, sedangkan para bajingan itu lolos dari pengawasan kita. Cukup sudah bagi kita untuk mengarahkan mata pedang kearah saudara-saudara kita, karena di belakang kita ada para perampok bangsa yang dengan gembira melihat apa yang saat ini kita lakukan. Merekalah musuh kita, arahkan pandangan dan mata pedang kita kepada mereka bukan sesama.
Setiap pribadi memiliki persepsi masing-masing tentang bagaimana dia mengabdi kepada negeri. Tidak mungkin bagi seseorang yang berjuang dengan ikhlas demi kebaikan umat akan menyengsarakan umat di negeri ini. Di dalam diri kita pasti memiliki apa yang disebut dengan hati nurani, maka saat ini gunakanlah hati nurani itu untuk melihat sebuah cahaya kebenaran. Akan terasa sulit memang jika di dalam diri kita masih dipenuhi oleh ego golongan, namun meskipun begitu, hati nurani tidak pernah bisa dibohongi. Lambat-laun ia akan bisa melihat cahaya kebenaran itu, dan pada saat itu, kita akan sadar bahwa kita adalah saudara, kita berjuang demi kemenangan din ini. Maka mari rapatkan barisan, buktikan kita ini mencintai Ibu Pertiwi dengan cinta yang tulus, bukan cinta karena dibayar.
0 komentar:
Posting Komentar