Ilustrasi:Pxfuel.com
Yopi Makdori
Pernyataan Trump yang sangat kontroversial terkait status Yerusalem yang menjadi ibu kota Israel sungguh menyedot perhatian umat Islam di seluruh dunia. Selain disebabkan karena wilayah Yerusalem merupakan kota suci bagi umat Islam, upaya media yang memaksa umat Islam untuk marah juga menjadi perangsang ramainya isu tersebut. Sontak demonstrasi di berbagai negeri, terutama negeri-negeri muslim secara masif terjadi. Pemimpin-pemimpin dunia Islam juga bak super hero mengutuk klaim presiden Amerika itu.
Menyikapi hal itu, Mesir mengajukan sebuah draf resolusi ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang menyatakan, "Setiap keputusan dan tindakan yang bertujuan untuk mengubah karakter, status atau komposisi demografi Kota Suci Yerusalem tidak memiliki efek legal, batal dan harus dicabut sesuai dengan ketentuan resolusi DK PBB." Namun draf tersebut ditolak oleh AS dengan menggunakan hak vetonya di organ tersebut--perlu diketahui bahwa hak veto merupakan hak yang dimiliki oleh anggota tetap DK PBB untuk membatalkan sebuah resolusi, total ada lima anggota tetap DK PBB, Inggris, China, Prancis, Rusia, dan AS. Padahal saat itu, 14 dari 15 anggota DK PBB mendukung draf resolusi yang diajukan oleh Mesir tersebut.
Kemudian karena tidak berhasil diselesaikan di DK PBB, isu itupun diteruskan ke Majelis Umum PBB. Selanjutnya menanggapi hal tersebut, Majelis Umum PBB menyelenggarakan sidang darurat pada Kamis, 21 Desember 2017 lalu. Dalam sidang darurat itu, Majelis Umum PBB berhasil memvoting sebuah resolusi yang berisi penolakan keputusan Amerika Serikat yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Resolusi yang disetujui oleh 128 negara dari total 193 negara anggota tersebut--9 negara menolak dan 35 negara memilih untuk abstain--dianggap sebagai pukulan memalukan bagi pemerintah AS. Terlebih mayoritas negara-negara Uni Eropa yang merupakan sekutu AS, ikut mendukung resolusi tersebut.
Pasca sidang tersebut, perwakilan resmi AS untuk PBB, Nikki Haley mengingatkan kepada negara-negara yang melawan AS, bahwa Amerika akan mengingat hari itu. Sebelumnya pada Rabu, sehari menjelang sidang darurat di Majelis Umum PBB, Presiden Trump mengeluarkan ancaman atas negara-negara yang akan menentang AS dalam voting di organ tersebut. Trump mengancam bahwa pihaknya akan memangkas dana bantuan bagi negara-negara yang menentang AS.
Di situlah titik terpentingnya, Trump dalam hal ini berhasil menyeleksi negara-negara yang setia terhadap Amerika. Mungkin negara-negara muslim dibuat dilematis atas ancaman Trump tersebut. Bagaimana tidak, di satu sisi negara-negara itu ingin terlihat sebagai pahlawan bagi Palestina yang nantinya bisa mendulang simpati dari rakyatnya. Namun di lain sisi, mereka takut bahwa ancaman Trump itu benar-benar dilakukan. Maka pernyataan presiden AS itu merupakan sebuah cara untuk melihat (Menggoyang Pohon) negara mana saja yang masih loyal kepada negaranya--Amerika Serikat. Begitu pula bagi muslim di seluruh dunia, ancaman Trump itu sebagai cara bagi mereka untuk melihat kesungguhan pemerintahnya memperjuangkan Palestina.
Bagi Trump ancaman itu sangatlah berarti bagi AS, bagaimana tidak di tahun 2015 saja, dua pertiga dari total bantuan AS mengalir ke negara-negara Islam. Di tahun 2014, empat negara muslim masuk kedalam lima besar negara penerima bantuan luar negeri dari AS. Negara-negara itu antara lain, Mesir (1,5 miliar dolar), Afghanistan (1,1 miliar dolar), Jordania (1 miliar dolar), dan Pakistan (933 juta dolar). Pola yang sama juga terjadi di tahun ini, di mana negara muslim masih menjadi negara yang peling banyak mendapatkan donor dari AS, yakini Afghanistan yang mencapai angka 4,3 miliar dolar. Angka tersebut melebihi jumlah bantuan yang diberikan oleh AS kepada Israel yang merupakan negara yang selalu menerima bantuan terbesar dari AS, yakini mencapai 3,1 miliar dolar.
Ancaman AS secara kasatmata memang sudah terbukti kebenarannya, kalau kita berkunjung ke halaman www.foreignassistance.gov kemudian melihat ke tab tahun 2018, maka akan terlihat bahwa di tahun itu alokasi bantuan luar negeri AS menurun drastis, dari 44,3 miliar dolar di tahun 2017 menjadi hanya 25,7 miliar saja.Penurunan drastis jumlah bantuan luar negeri AS terlihat pada negara Afghanistan, yang 2017 mencapai 4,3 miliar, sedangkan di tahun depan hanya 782 juta saja. Mesir sendiri selaku negara yang mengajukan rancangan draf resolusi yang menentang klaim Trump atas status Yerusalem di DK PBB tidak begitu banyak mengalami perubahan signifikan dalam jumlah bantuan yang diterima dari AS, dari 1,4 miliar dolar di tahun 2017 menjadi 1,3 miliar dolar. Penurunan yang begitu kecil.
Begitu juga dengan Indonesia, bantuan AS ke negara ini mengalami penurunan dari 133 juta dolar di tahun ini, menjadi hanya 89 juta saja di tahun 2018 nanti. Negara-negara yang berada di barisan AS saat voting di Majelis Umum itu, yakini Honduras, Guatemala, Mikronesia, Kepulauan Marshall, Nauru, Togo, Palau, dan Israel tentunya. Negara-negara tersebut meskipun berdiri mendukung AS namun bantuan yang diberikan oleh AS justru ada yang mengalami penurunan, yakini Honduras dari 95 juta dolar di tahun ini, menjadi hanya 67 juta dolar di tahun mendatang; dan juga Guatemala, yakini dari 140 juta dolar di tahun 2017, menjadi hanya 80 juta saja. Sedangkan Toga dan Israel menerima bantuan dengan jumlah yang sama antara 2017 dan 2018. Sisanya, yakini Mikronesia, Nauru, Kepuluan Marshall, dan Palau sama sekali tidak mendapatkan bantuan dari AS, baik di tahun 2017 maupun tahun 2018 nanti, kecuali Kepulauan Marshall yang di tahun 2017 menerima bantuan 447 ribu dolar, sedangkan di tahun 2018 sama-sekali tidak mendapatkan bantuan tersebut.
Kalau melihat pola tersebut, maka seakan tidak ada perbedaan perlakuan antara negara yang mendukung dan melawan AS dalam sidang di Majelis Umum kemarin. Hal ini mengindikasikan bahwa menurutnya alokasi jumlah bantuan AS di tahun 2018 pada dasarnya bukanlah dipengaruhi oleh perlawanan oleh beberapa negara atas klaim AS itu. Namun lebih ke faktor lain, seperti penghematan yang tengah dilakukan oleh negara itu.
Sebenarnya kalau ancaman AS itu serius, yakini ancaman terkait menghentikan atau mengurangi jumlah bantuan oleh negara itu kepada negara-negara yang menentangnya dalam isu Palestina ini, maka rakyat di dunia Islam bisa melihat sejauh mana komitmen pemerintahnya untuk membela bangsa Palestina. Namun jika ancaman itu tidaklah serius, lalu permainan apakah yang tengah dilakukan oleh Trump (AS) saat ini? Bagi kita, saat ini memang akan sulit untuk menebak-nebak permainan yang tengah dimainkan oleh AS itu. Namun beberapa waktu nanti, permainan yang tengah AS mainkan saat ini akan dengan jelas terbaca polanya bagi mereka yang memperhatikan.
*Pertama kali dipublikasikan di: Opinimahasiswa.com
ini baru mantap
BalasHapus