Ilustrasi: Pxfuel.com
Muhammad Iskandar Syah
Radikalisasi di kalangan anak muda di negeri ini kerap kali dipersepsikan sebagai benih-benih dari tindakan terorisme. Narasi seperti ini terus menerus digaungkan, baik oleh para [katanya] intelektual, politikus, publik figur, maupun para anak muda unyu-unyu yang sok nasionalis. Banyak sesat-sesat pikir dalam narasi tersebut, misalnya saja tidak berangkat dari realitas atau fakta, identifikasi apa yang disebut Islam radikal atau pembangunan konsepsi, hanya melihat kasus sebagian kecilnya saja tanpa secara global dengan menggunakan mata elang, level analisis motif pelaku (jika Islam) langsung tertuju pada “belief system”, dan mengesampingkan faktor lain seperti faktor struktural, kondisi psikologis, kebijakan, kondisi lingkungan, keadaan ekonomi, dan lainnya.
Bagi mereka yang mencoba bersikap kritis atas kesesatan-kesesatan berpikir dalam narasi tersebut langsung dihantam dengan stempel “pendukung terorisme”. Memang benar karakteristik pengemban paham “sesat pikir” jika dikritik atau diluruskan akan menggunakan logika sesat juga. Mereka menggunakan oposisi biner rendahan ala anak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), penalaran mereka seperti ini: “Mereka merupakan agen anti-terorisme, maka hanya teroris dan pendukungnyalah yang kontra terhadap mereka”. Hal ini jelas menggunakan oposisi biner bak anak PAUD yang belum bisa bernalar secara kompleks.
Oposisi biner ala anak PAUD ini jelas logika sesat yang terus-menerus mereka pupuk di tengah-tengah masyarakat supaya tertanam opini di tengah-tengah mereka bahwa hanya pendukung terorismelah yang berani mengkritik agen anti-terorisme itu. Sungguh sangat disesalkan, di tengah-tengah peradaban yang menjungjung tinggi nalar dan ilmu pengetahuan kesesatan-kesesatan ini masih saja ada bahkan justru sengaja dipelihara supaya diamini oleh seluruh masyarakat di negeri ini.
Seharusnya jika mereka benar-benar hendak memberantas segala bentuk tindakan terorisme bukanlah berangkat dari kesesatan-kesesatan berfikir seperti itu. Karena, jika fondasinya saja sudah sesat apalagi bangunannya sudah pasti akan lebih ngawur dan hal ini akan berimplikasi pada ketidakefektifan kebijakan anti-terorisme itu sendiri. Maka tidak heran jika program-program anti-terorisme bukan malah menghilangkan terorisme justru membuat jutaan umat Islam di negeri ini merasa geram karena seakan-akan menyasar kepada ajaran-ajaran Islam. Hal tersebut bukanlah tanpa sebab, hal itu terjadi tentu saja karena kesesatan logika yang telah dibangun sejak awal,yakini tidak mengidentifikasi secara jelas apa itu akar terorisme. Mereka langsung berangkat pada satu kesimpulan (yang menjadi doktrin) bahwa akar segala bentuk tindakan terorisme ialah radikalisme Islam. Lebih parah lagi, mereka tidak membangun secara jelas konsepsi radikalisme Islam. Kalaupun konsepsi itu berusaha dibangun, implementasi dalam setiap program-programnya tidak seirama dengan konsepsi radikalisme yang telah dikonstruksikan.
Bagi kita yang sudah terbiasa dijejali narasi sesat ini mungkin akan merasa biasa saja melihat berbagai kesesatan-kesesatan berpikir yang terus-menerus digaungkan ke masyarakat di negeri ini. Namun bagi saya, hal ini begitu membuat risi nalar waras yang telah dibangun oleh para guru dan dosen saya yang begitu saya hormati. Melihat kondisi seperti ini, seakan logika dan nalar waras saya dicabik-cabik dan diinjak-injak. Maka jika hal ini terus-menerus dibiarkan bukan tidak mungkin jika saat ini kita masih dalam abad kegelapan, di mana logika dan ilmu pengetahuan berusaha di matikan dan disingkirkan di pojok tergelap negeri ini.
*Pertama kali diterbitkan dalam Opinimahasiswa.com
0 komentar:
Posting Komentar