GRENDENG THINKER VIEWS

Sikap Hormat Demonstran pada Marinir

Ilustrasi: Tangkapan Gambar CCTV Bali Tower di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

 

Hari ini pemandangan begitu damai dipertontonkan oleh beragam elemen mahasiswa yang membanjiri kawasan Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (20/10/2020). Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) bersama sejumlah elemen mahasiswa kembali berniat membanjiri Istana Merdeka guna menyalurkan aspirasinya atas penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker).


Sejak awal Oktober ini sejumlah elemen mahasiswa dan buruh memang terus menggelar serentetan aksi unjuk rasa menyuarakan ketidaksetujuan atas disetujuinya RUU Cipta Kerja oleh DPR RI melalui rapat paripurna yang dihelat secara mendadak pada Senin, 5 Oktober lalu.


Saat ini bola tengah berada pada tangan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, apakah ia akan mengesahkan RUU yang telah disetujui DPR RI itu atau sebaliknya. RUU itu selama ini memang banyak menuai kontroversi. Sejak drafnya beredar pada Februari tahun ini, publik merasa terusik dengan sejumlah ketentuan pasal yang terkandung di dalamnya.


Namun saat DPR mengesahkan RUU tersebut, pemerintah mengklaim bahwa kandungan sejumlah pasal telah diubah. Padahal sebelumnya, saat detik-detik menjelang RUU itu disetujui dalam rapat paripurna di DPR, beredar sebuah dokumen salinan draf final RUU Cipta Kerja. Namun di kemudian hari, pemerintah membantah keotentikan dokumen tersebut.


Lebih parah lagi, hingga kini draf final RUU Ciptaker tak pernah dipublikasikan oleh pihak terkait. Hal ini memicu sejumlah pihak mempertanyakan bahwa jika draf aslinya tak ada, lalu mengapa pemerintah termasuk pihak kepolisian terlalu dini menuding pihak lain menyebarkan hoaks soal isi dari RUU tersebut. Pasalnya, pemerintah sendiri tak memberikan dokumen otentik dari draf final RUU itu. Padahal jika sesuatu dituding hoaks, maka mesti ada yang "aslinya" terlebih dahulu. Jika tak ada latas apa yang akan dijadikan tolak ukur?


Lagi pula jika draf finalnya belum ada, tentu saja kontroversi menyangkut isi pasal di RUU tersebut bertolak dari draf RUU sebelumnya yang beberapa bulan lalu sudah beredar.


Baik kita kembali ke demo hari ini, pemandangan demo hari ini tak seperti biasanya. Ya meskipun saya pribadi tak terjun ke lapangan dan hanya memantaunya dari CCTV yang disediakan Bali Tower, namun tampak tak ada kericuhan yang berarti dalam demonstrasi hari ini. Elemen BEM SI yang sendari pagi menjelang siang sudah "nangkring" di sana tak membuat kericuhan sama sekali.


Kemudian menurut pantauan seorang kawan di lokasi, BEM SI sudah meninggalkan tempat aksi sejak lama sebelum kumandang Magrib menggema di langit Jakarta. Pengamatan dari CCTV pun demikian, mobil komando yang digunakan BEM SI sejak pagi hari tak tampak lagi. 


CCTV Bali Tower tampaknya menampilkan zooming yang seakan tengah membidik wajah para demonstran. Dari sana saya juga dapat melihat dengan jelas wajah dan bunyi poster yang dipegang para demonstran.


Sesekali CCTV mengarahkan zooming ke deretan remaja tanggung yang wajahnya tampak amat jelas saya lihat. Mereka Terlihat berusia belasan tahun yang paling tidak masih duduk di bangku SMP atau kelas 1 SMA.


Dari gerak-geriknya terlihat mereka hanya duduk-duduk saja. Seakan menunggu sesuatu yang entah apa. Sesekali mereka bercanda dengan sesamanya dan juga teman wanitanya sembari menghisap batangan rokok.


Dari gerak-gerik tersebut saya menaruh curiga bahwa anak-anak ini memang menunggu situasi ricuh. Di usia mereka hasrat kekerasan kerap kali ditampilkan dalam bentuk berkelahi maupun tawuran. Dengan adanya demonstrasi ditambah mungkin panggilan hatinya untuk menolak RUU tersebut, menjadikan mereka bak menyelam minum air. Di mana satu sisi ingin meluapkan hasrat kekerasannya, di sisi lain mereka memang terpanggil untuk menolak RUU yang dinilai menyengsarakan rakyat itu.


Tapi hingga azan Magrib berkumandang, ricuh tak kunjung datang. Berhubung waktu untuk demonstrasi telah usai, maka terpaksa Marinir yang kala itu menjaga di barisan depan menggiring massa untuk mundur pulang. Cara ini ternyata efektif, massa yang biasanya menjelang Magrib ricuh, kini mereka diminta pulang oleh Marinir semuanya bak satu komando, manut.


Ini begitu kontras jika yang berada di garis depan adalah polisi, massa kerap kali melemparkan botol air minum dalam kemasan atau bahkan batu bata kepada mereka. Entah mengapa, sepanjang demonstrasi yang pernah saya pantau, massa aksi cenderung lebih hormat dengan aparat TNI, utamanya Marinir dibandingkan polisi.


Doktrin Marinir


Setelah menggali beberapa tulisan, akhirnya saya temukan akar historis mengapa Marinir begitu dieluhkan dalam setiap demonstrasi. Kolonel Laut Beni Rudiawan, dari TNI AL yang kini menjabat sebagai biro akademik di Universitas Pertahanan (Unhan) menuturkan soal keterlibatannya dalam reformasi 1998 silam. Disadur dari Asumsi.co pada Jumat, 23 Oktober 2020, Beni Rudiawan mengungkap bahwa penghormatan masyarakat atau massa aksi 98 kepada Marinir lantaran sikap humanis yang ditonjolkan selama menghadapi massa.


Marinir seakan antitesis dari Angkatan Darat beserta Polisi yang pada saat itu dinilai arogan kepada rakyat. 


"Karena merasa loyalitas, angkatan darat berusaha menangani, namun saat itu kan mungkin kita juga tahu bahwa terjadinya pembakaran-pembakaran di beberapa mall itu ada indikasi itu Angkatan Darat. Karena ada indikasi  itu, masyarakat bukannya makin simpati, akhirnya masyarakat yang melakukan penjarahan. Nah karena situasi udah makin rumit, kita kerahkan (dikerahkan)," beber Beni Rudiawan.


Beni Rudiawan yang kala itu berdinas sebagai penerbang mengaku memang sudah menjadi "doktrin" bagi korpsnya untuk senantiasa bersifat humanis pada massa. Langkah ini bak didesain untuk meredam ketidakpuasan publik terhadap TNI, utamanya Angkatan Darat waktu itu.


"Memang sudah ada doktrin untuk Marinir bahwa, angkatan darat ternyata tidak mendapat respon positif dari masyarakat karena ada indikasi-indikasi pembakaran yang justru dilakukan oleh oknum-oknum angkatan darat yang berpakaian preman, kan indikasinya begitu. Akhirnya masyarakat bukannya makin simpati malah makin benci, ini kok beberapa mall dibakar malah sama oknum angkatan darat? Terutama Kopassus kan waktu itu angkatannya. Nah Marinir, karena udah ada doktrin seperti itu, akhirnya lebih menggunakan cara-cara persuasif," jelasnya. 


Doktrin tersebut ditanamkan di setiap level angkatan, baik rendah maupun angkatan yang lebih tinggi.  Mereka memang tak bertumpu pada laku-laku yang mewujudkan kekerasan. Justru sebaliknya, Marinir dituntut untuk dekat dengan masyarakat.


"Dan memang untuk Marinir dari mulai tamtama, bintara, perwira, kita didoktrin untuk deket dulu sama masyarakat, jangan mengandalkan kekerasan," paparnya. 


Dari sana, citra Marinir yang dapat mengayomi rakyat masih melekat hingga saat ini. Makanya, dalam setiap demonstrasi Marinir amat dihormati oleh massa aksi.

 


About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.