Ilustrasi: Openclipart.org
Ibarat pilar yang menopang utuhnya sebuah bangunan, keadilan adalah pilar untuk menopang kedamaian. Siapa yang tak suka kedamaian? Siapa yang tak menghendaki suasana harmonis dalam masyarakat. Tapi seringkali kita tak paham bahwa harga dari semua itu adalah keadilan.
Terkadang, harga sebuah kedamaian tak semua orang mau untuk membayarnya. Padahal saya yakin bahwa semua merindukan sebuah masyarakat itu damai. Namun mengapa banyak enggan untuk membayarnya?
Keadilan itu buta, ia tak melihat latar belang kita. Siapa pun akan merasa tersakiti jika diperlakukan dengan tidak adil, bahkan oleh kawan kita. Sebagai contoh dalam jamuan makan malam saya mengundang sahabat dekat saya, kecuali si A. Jika si A tahu bahwa saya beserta sahabat lain sedang mengadakan makan-makan lantas si A tak diundang, maka saya yakin si A bakal tersakiti.
Mengapa begitu? Kalau kita mau menggunakan logika apa yang dilakukan oleh saya bukanlah hal yang salah. Karena saya menggunakan uang saya sendiri untuk gelaran makan malam tersebut, lantas mengapa si A mesti marah. Bukankah ia tak memiliki hak? Memang betul seperti itu, tapi karena antara si A dengan saya sudah terkonstruksi sebuah bangunan “persahabatan” sementara faktanya si A tak diundang jamuan makan malam di saat sahabat yang lain semuanya diundang. Inilah yang akhirnya membuat si A merasa diperlakukan tidak adil.
Itu baru hal-hal yang kecil, saya pikir hampir seluruh lini kehidupan kita menuntut hadirnya keadilan yang nyata. Seorang guru misalnya, saya rasa dalam setiap embusan napas seorang guru senantiasa dituntut untuk berlaku adil. Karena tergelincir sedikit saja mereka berlaku tak adil, maka anak murid yang merasa tak diperlakukan dengan adil akan enggan untuk hormat kepadanya. Penghormatan secara lahiriyah mungkin, tapi apakah senada dengan hatinya? Belum tentu. Karena kekesalan pernah diperlakukan dengan tidak adil, saya yakin bakal membekas lama pada murid tersebut.
Keadilan juga mutlak dimiliki oleh media. Sebagai penyampai pesan, media selalu diminta untuk berlaku adil. Berlaku adil bagaimana? Ya harus berimbang dalam melaporkan. Mungkin ini mantra lama yang tak henti-hentinya dirapalkan, tapi media memang wajib memiliki ini. Tanpa itu, mereka tak lebih dari sebuah “corong” bagi kepentingan.
Banyak hal jika mau saya sebutkan satu-satu soal keadilan. Tapi yang lebih penting dari itu semua adalah keadilan dari sebuah institusi yang disebut “negara”. Negara merupakan institusi paling utama yang dituntut untuk menerapkan keadilan dan menghapuskan hukum rimba. Hukum yang mana yang kuat dialah yang berkuasa. Nah negara mestinya mengakhiri hukum model begini. Artinya kendati mereka yang kuat melakukan kesalahan, maka mereka wajib mendapatkan hukuman dari negara.
Negara yang tak menegakkan keadilan di tengah rakyatnya, maka cepat atau lambat negara itu akan digilas konflik yang tak berujung. Akan senantiasa gaduh oleh suara-suara mereka yang tengah merintih mengemis keadilan.
Teladan Nabi Muhammad
Sikap adil juga tentu saja dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam suatu riwayat Nabi bahkan akan memotong tangan putrinya, Fatimah manakala ia kedapatan mencuri. Hal ini menunjukkan begitu pentingnya keadilan untuk tegak di tengah umat di mata Rasulullah. Rasul bahkan telah mewanti-wanti bahwa “ketidakadilan” bakal membinasakan.
“Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya,” (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).
Keadilan tak bisa tidak harus hadir untuk membentuk masyarakat yang damai. Tanpa itu, mari kita tonton berkesudahan dari masyarakat yang hanya menegakkan hukuman bagi kaum yang lemah.
0 komentar:
Posting Komentar