Gagasan

Ketidakpercayaan Publik Bukan Muncul dari Lahan Tandus



Ilustrasi: Pxfuel.com





Bismillah…

Sepanjang jalannya pandemi Covid-19 saya mengamati masih banyak masyarakat yang tak mempercayai adanya virus Corona. Urusan hal yang tidak bisa dilihat memang sukar untuk dipaksakan agar dipercayai. Tak usah jauh-jauh, keberadaan Tuhan saja masih banyak pihak yang menegasikan.



Adalah saya, Yopi Makdori yang hampir setiap hari bergelut dengan kabar soal Covid-19. Sebagai pemuda yang banyak hidup di lingkungan klenik sebenarnya saya agak janggal melihat banyak masyarakat yang sarat akan klenik justru cenderung tidak mempercayai keberadaan virus asal Wuhan, China itu.

Bagaimana tidak, mereka yang percaya klenik justru banyak yang membantah keberadaan Covid-19. Padahal jika menggunakan akal, klenik itu hal yang tak bisa diraba, tingkatannya justru lebih terindra Corona ketimbang hal yang berbau santet menyantet. Tapi mengapa mereka bukan saja ragu, tapi sudah di tahap "tidak percaya".

Rasa ketidakpercayaan ini memiliki konsekuensi yang begitu besar. Karena bakal bermuara pada pengabaian pada usaha-usaha pencegahan penularan Covid-19. Memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dan segala upaya untuk menekan penularan bakal diabaikan.

Jika secara luas dilakukan oleh masyarakat yang tengah dilanda pandemi, imbasnya tentu saja bakal fatal. Dan hari ini kita menyaksikan panen ketidakpercayaan itu.

Lantas apa yang membuat mereka tidak percaya?

Kawan, beberapa hari yang lalu saya mendengar cerita istri soal perdebatan teman semasa SMA-nya menyangkut Covid-19. Satu pihak merupakan warga biasa, satu lagi merupakan tenaga kesehatan yang mau tak mau harus bergelut dengan pasien Corona.

Perdebatan itu dipantik oleh sebuah video yang menampilkan sekelompok anak tengah di-swab (entah PCR atau Antigen). Video itu kata istri saya begitu emosional bagi kami yang mempunyai balita. Dalam video itu anak-anak seakan kesakitan saat alat swab masuk ke lubang hidung mereka. Entah apa yang dirasakan anak-anak, tapi dari raut dan tangisannya mereka seakan-akan merasakan sakit yang cukup serius.

Dalam narasinya, pihak yang membantah keberadaan Corona menuliskan protesnya, ia mengkritik apa yang dilakukan oleh petugas kesehatan terhadap anak-anak. Menurutnya anak-anak itu sehat (negatif), namun pasca di-swab justru positif.

Saya dan istri tak tahu dari mana dia bisa memastikan jika anak-anak itu awalnya sehat, tapi yang saya yakini bahwa ia pun hanya mencomot video itu dari media sosial dan menarasikan ulang apa yang dinarasikan penyebar video tersebut soal Covid-19. Kurang lebih isinya pasti senafas.

Berhubung teman SMA-nya ada yang tenaga kesehatan, ia pun mendapat sanggahan pedas dari temannya. Intinya teman dia atau pihak yang percaya Covid-19 mengatakan bahwa Covid-19 itu nyata dengan berbagai bukti yang ia paparkan. Alhasil dia yang tak percaya Covid-19 itu memblokir mereka yang berusaha mengkritiknya soal anggapannya tentang Corona.

Saya tidak heran akan sikap seperti ini, saya amat memaklumi sikap dia. Pergaulan dengan itu-itu saja, membaca tidak, menelaah enggan, menonton tontonan yang bermanfaat sungkan jadilah seperti itu. Pendapatnya hadir dari prasangka. Dan ia tidak bisa mentolerir siapa pun yang berseberangan dengan asumsi dangkalnya itu.

Kawan-kawan tahu apa yang lebih parahnya? Kata istri saya, ia sama sekali tak mau mengakui kesalahannya. Setelah temannya diblokir, ia justru melemparkan kekesalan di dinding Facebook-nya.

Tak ada kesan ia membaca dan merenung apakah pendapatnya salah. Kendati teman-temannya yang protes itu para tenaga kesehatan, ia tetap kukuh dengan argumennya.

Tapi terlepas dari kasus itu, saya yakin ada sebab lain yang membuat banyak orang begitu enggan untuk mempercayai keberadaan Covid-19. Spekulasi adanya konspirasi akhirnya mencuat. Ada sebagian di antara mereka yang menduga bahwa Corona hanya akal-akalan para petugas medis untuk mendulang pundi-pundi rupiah. Mereka seakan begitu menaruh curiga kepada rumah sakit dan para tenaganya.

Asumsi ini tentu saja berangkat dari telaah parsial mereka. Dalam benaknya, dengan adanya pagebluk ini para tenaga kesehatan diuntungkan karena banyak orang yang diwajibkan untuk melakukan tes Covid-19. Belum lagi aliran dana dari pemerintah.

Ada juga sebagian orang yang mengatakan Corona ini hanya alat bagi pemilik kuasa untuk menghimpun utang dengan pretensi penanganan wabah.

Mengapa mereka bisa berpikir sejauh ini? Kita tak bisa menampikan adanya kekecewaan publik terhadap kerja tenaga kesehatan jauh sebelum pandemi ini berlangsung. Di daerah saya ada sebuah rumah sakit pemerintah yang pelayanannya jauh dari kata manusiawi.

Orang tua saya beserta paman mengalami hal ini. Saat ayah dalam kondisi koma beberapa tahun silam, setibanya di rumah sakit, kami tak langsung diterima. Mereka, para tenaga kesehatan yang mestinya responsif dengan kedatangan pasien justru bersikap sebaliknya. Mereka seakan mengabaikan kami dan justru memilih bercanda dengan sesamanya. 

Untuk menjemput pasien dari mobil saja, mesti dilakukan oleh kami (pihak keluarga). Ketika diprotes oleh paman, salah satu dari mereka bilang, "Ya namanya milik pemerintah Pak, bukan swasta." Artinya bagi mereka pasien meninggal pun tak apa-apa, tak ada rasa bersalah yang keluar dari mulut mereka.

Rumah sakit ini konon [saya sebut begini karena saya belum bisa membuktikan secara nyata] sering membuat ibu melahirkan dengan cara sesar pada meninggal. Meninggalnya memang bukan di rumah sakit, melainkan beberapa hari pasca keluar dari rumah sakit.

Hal semisal juga terjadi di rumah sakit swasta. Lagi-lagi saya mesti mencontohkan apa yang saya alami di daerah. Pada Mei lalu, saya terserang demam disertai batuk pilek. Saya pun nekat ke rumah sakit selain untuk meminta surat sakit buat kantor, saya juga ingin meminta obat lebih andal berhubung parasetamol yang sejak awal dikonsumsi seakan tak memberikan efek.

Saat itu saya baru sakit sekitar dua hari. Dan saat diperiksa tanpa ba bi bu salah satu petugas medis di sana mencoba mengambil sampel darah saya. Padahal urusan administrasi belum juga dirampungkan (saya masuk di IGD pagi hari buta).

Saya bilang ke petugas tersebut, untuk apa suntikan itu? Dia jawab bahwa saya akan dicek laboratorium. Saya tak paham persis bagaimana idealnya menangani pasien, tapi sepengalaman saya untuk dicek laboratorium, petugas kesehatan mesti meminta izin dengan sang pasien atau keluarganya. 

Tapi itu tidak, petugas tanpa berkata apa-apa hanya menanyakan gejala yang saya rasakan langsung menjulurkan jarum suntiknya. Hendak dicek penyakit apa pun saya tidak diberi tahu. Saya pikir idealnya begini, "Pak dari gejala yang bapak alami sepertinya bapak terinfeksi Covid-19, bagaimana kalau kita tes Antigen (atau rapid tes karena lewat darah)? Kemudian kalau reaktif bapak bisa memastikan lewat tes PCR," bukankah lebih bijaksana seperti itu?

Saya akhirnya menolak untuk dites, mengingat sakit saya yang baru dua hari. Hemat saya, mestinya mereka memberikan saya obat dasar terlebih dahulu. Jika masih timbul gejala, okelah baru kita cek laboratorium.

Bayangkan jika kasus saya dialami oleh orang yang mohon maaf "tidak tahu utara tidak tahu selatan". Pasti ketika pihak rumah sakit tanpa basa basi melakukan cek laboratorium, mereka sungkan untuk menolaknya. Karena mereka pikir itu memang yang harus dilakukan.

Memang tak ada yang salah dengan prosedur macam itu, tapi jika pasien hanya sakit ringan dan itu pun baru dua hari sakit, ada urgensi apa sehingga pasien buru-buru mesti cek laboratorium? Kan kita paham etika, paling tidak kalaupun itu urgen mestinya mereka minta izin terlebih dahulu kepada pasien. Kalau saya menurut saja dengan permintaan mereka, saya yakin tagihan rumah sakit saya saat itu bakal membengkak.

Tak lama setelah itu, tepatnya pada malam Idulfitri kemarin ibu mertua saya mesti dilarikan ke rumah sakit yang sama. Herannya pelayanan yang diberikan berbeda. Misalnya untuk mendapatkan satu suntikan saja petugas kesehatan mesti memastikan kami, pihak keluarga telah merampungkan administrasi. Berhubung saat itu pasien menggunakan BPJS.

Mereka pun mesti minta izin untuk memberikan suntikan. Bahkan setelah saya merampungkan segala administrasi, pasien tak kunjung disuntik. Ini jelas pemandangan kontras dengan pengalaman sebelumnya yang saya alami. Apakah yang menyebabkan perbedaan penanganan itu? 

Perilaku-perilaku seperti ini yang dilakukan pihak rumah sakit tentu saja memupuk rasa tidak percaya masyarakat kepada mereka. Di benak publik bisa saja mereka hanya rumah penguras duit.

Persepsi seperti ini akan semakin teguh melekat jika apa yang dilakukan rumah sakit itu diulangi secara terus menerus. Maka ketika pandemi melanda, ditambah banyak masyarakat melihat bahwa tenaga kesehatan diuntungkan dari fenomena ini, jadilah muncul anggapan bahwa Covid-19 merupakan konspirasi. Para pasien "di-Covid-kan" agar rumah sakit untung. Dan narasi-narasi semacamnya.

Saya yakin apa yang saya alami itu hanya dilakukan oleh "oknum". Tapi dengan kerendahan hati saya, saya ingatan kepada siapa pun kalian tak bisa serta merta mencap "publik bodoh" gegara menuding Covid-19 sebuah konspirasi. Kita harus mengakui ada sebagian pihak yang memanfaatkan pandemi ini demi mendulang rupiah. Sebut saja apa yang terjadi di Bandara Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara pada akhir April lalu.

Di mana saat itu petugas tes Covid-19 dari salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang membukakan stan di lokasi justru berbuat curang. Mereka meraup miliaran rupiah dengan mendaur ulang alat tes Covid-19. Peristiwa-peristiwa semacam ini mesti diakui membuat kepercayaan publik terhadap tenaga kesehatan makin terjungkal.


Jadi ketika kita temui siapa pun yang masih belum percaya Covid-19, maka jangan dihujat tapi kata orang-orang bijak bilang, rangkullah dan berikan mereka pemahaman. Karena bisa saja sikap tidak percaya itu muncul bukan karena kurangnya penjelasan ilmiah, tapi pengalaman buruk mereka sebelumnya dengan rumah sakit atau tenaga medis.



About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.