Ilustrasi: Pix4free.org
Tujuan menjadi kata yang singkat namun berbobot berat.
Sepenggal kata yang menjadi hulu dari beragam rupa aktivitas yang dilakukan
manusia. Tanpa adanya kata itu, semua seakan tak lebih dari bercanda belaka.
Bahkan bercanda pun, bagi sebagian orang bagian dari tujuan.
Saya sangat mengapresiasi berbagai proses olah pikir manusia
yang dituangkan dalam bentuk apa yang kita kenal saat ini sebagai “konten”.
Baik dalam rupa gambar, tulisan, audio visual sampai gabungan di antaranya.
Sehingga membentuk “karya” yang masing-masing memiliki pasar.
Dakwah adalah tujuan yang sebetulnya tak perlu ada
perdebatan lagi akan kemuliaannya. Kendati kini bagi sebagian orang menuntut
bahwa dakwah itu harus “adem” maupun “sejuk,” tapi bagi saya tuntutan ini tak
berdasar.
Kita tak pernah bicara jauh soal konsep sejuk ataupun adem
dalam dakwah. Pembahasan pada spektrum publik hanya berhenti pada anggapan
bahwa dakwah yang sejuk adalah dakwah yang diterima semua orang, tak
menyinggung perasaan orang lain.
Konsep tersebut tentu tak masuk akal jika kita mengakui
bahwa dakwah adalah upaya untuk menyeru pada kebenaran. Sejak Adam dilempar ke
Bumi sampai detik ini tidak ada yang namanya “menyeru pada kebenaran” tapi
disenangi semua orang.
Anda bisa bayangkan ketika kebenaran dalam Islam menyebut
khamar itu haram, lantas Anda berdakwah
kepada peminum alkohol. Banyak dari mereka pasti menganggap dakwah Anda
mengusik. Dengan dalih “yang penting tidak mengganggu orang lain,” saya yakin
para alkoholik, sebutan bagi mereka peminum khamar akan menganggap dakwah itu
sebagai tindakan “mengusik.”
Pun ketika Anda berdakwah kepada tukang-tukang lainnya,
tuang zina, tukang judi, tukang riba, tukang syirik, dan lainnya, dakwah Anda
saya yakin akan ditafsirkan sebagai tindakan mengusuk. Ini sudah default
dari Alllah SWT bahwa kebenaran dan kebatilan tak bisa diketemukan.
Tuntutan dakwah yang menyejukan tak kurang dan tak lebih
hanya kamuflase penolakan kita terhadap kebenaran. Karena jika frontal menolak
langsung, maka tentu saja di mata publik sikap ini dipandang tak patut.
Pembahasan seperti ini klise sebetulnya, tapi saya yakin
masih banyak yang belum paham menyangkut dengan “dakwah yang menyejukan.” Kita diajak untuk mengikuti konstruksi yang
dialamatkan terhadap satu golongan bahwa dakwah yang mereka sampaikan keras.
Mungkin karena penyampaiannya yang keras atau konten yang disampaikannya?
Penulis memandang bukan soal cara orang menyampaikannya,
tapi isi dakwahnya. Bahkan jika pun tokoh paling dianggap ramah di negeri ini
menyampaikan bahwa ini, itu haram, tentu bakal dibantah oleh kita yang selama
ini tidak mau diatur dengan Islam dengan berlindung dibalik tuntutan dakwah
yang sejuk.
Tujuan Hal Utama
Sejak duduk di bangku kuliah saya tak pernah tertarik dengan
media sosial, utamanya Instagram. Saya memang punya Facebook dan Youtube, tapi
untuk menjajal Instagram saya pikir beribu-ribu kali. Pandangan saya kala itu,
platform media sosial yang kali pertama dirancang oleh Kevin Systrom bersama
Mike Krieger itu tak menimbulkan manfaat kecuali mereka yang menyukai
fotografi.
Pandangan ini bukan muncul dari pikiran kosong, saya
mendengar bahwa platform media sosial ini hanya menyuguhkan gambar tanpa ulasan
tulisan yang komprehensif. Saat ini saya lebih memuja karya tulisan ketimbang
audio maupun visual. Tentu saja pikiran ini didorong oleh subjektivitas pribadi
saya yang lebih menggemari dunia tulis menulis ketimbang berkutat dengan
aplikasi Corel Draw ataupun Adobe Photoshop dan Premier.
Sampai dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang mengharuskan
saya untuk memantau isu dari segala penjuru mata angin. Dari sanalah saya mulai
berkenalan dengan platform yang lahir dari para arsitek perangkat lunak di Burbn,
Inc. itu. Itu pun bukan menggunakan nama resmi, alias bukan akun “official,”
begitu anak zaman sekarang menyebutnya.
Belum lama menjajal aplikasi ini, saya sadar bahwa banyak
akun palsu yang memanfaatkan foto wanita guna kepentingan pribadi operator di
balik akun-akun tersebut. Akun-akun ini mengunggah deretan foto wanita baik
yang tergolong syari (berpakaian yang sejalan dengan tuntutan syariat) maupun
sebaliknya.
Sasaran mereka tentu saja kaum Adam yang secara bodoh
memencet tombol “Ikuti” pada beranda lini masa akun tersebut. Cara ini
tampaknya berhasil, sebab tak jarang akun-akun semisal ini memiliki puluhan
bahkan ratusan ribu pengikut.
Tujuan mereka menernak akun Instagram secara massal tentu
demi materi. Jika pengikutnya sudah membeludak, maka mereka akan menjualnya.
Semakin besar jumlah pengikut, maka akan semakin tinggi harga yang ditawarkan.
Bumikan Busana Syari
Bagi wanita dengan pakaian serba syari barangkali benaknya memiliki
maksud untuk mempopulerkan busana itu ke khalayak. Tapi kadang kala saya baca semangatnya
banyak yang berubah, kendati lidah berucap konsisten.
Pamer adalah kata yang pantas diletakan pada laku sebagian
dari mereka. Semangat yang semula mulia, berubah karena lemparan pujian paras
dan sifat dari para penggemarnya. Tapi seperti pendapat umum, media sosial
memang diciptakan sebagai ajang pamer.
Saya masih yakin tak semua begini, tapi jumlahnya kalah lebih
sedikit dari mereka yang melakukan sebaliknya. Saya mesti mengakui, merebaknya
beragam jenis busana syari yang kini dianggap normal adalah salah satunya
berkat usaha-usaha yang dilakukan mereka. Kita bisa tanya kakak-nenek kita,
ataupun orang tua kita soal kondisi pakaian syari pada zamanya. Atau bisa mencari
informasi mengenai hal itu pada mesin pencarian.
Zaman kakek-nenek maupun orang tua kita busana muslim
merupakan benda yang cukup asing. Bahkan penggunaan busana ini pada sekolah
saja cukup sengit menghadapi perdebatan sejumlah kalangan. Tapi apa yang
terjadi saat ini? Busana ini kini semakin populer, terlepas dari pro kontra mengenai
kepatutan penggunaan busana ini dengan tuntunan syariah.
Demi mempopulerkan busana ini haruskan kita menerabas aturan
yang ada dari sisi agama? Bukankah niat kita ingin menegakkan apa yang diperintahkan
oleh agama. Tapi kalau dilakukan dengan menerobos rabu-rabu bahkan aturan yang
ada dalam agama pantaskan hal itu dilakukan? Atau jangan-jangan semangat
membumikan busana syari hanya seperti yang banyak orang bilang “jubah” untuk
menutupi nafsu pamer serta ingin dipuji. Tapi apa pun motifnya, sesuatu yang
baik mestinya dilakukan dengan cara yang baik pula.
Ustaz Jadi Artis
Platform media sosial Instagram tampaknya jadi inti dalam
tulisan saya kali ini. Sejak lahirnya platform tersebut, kita begitu banyak
mengenal ustaz-ustaz dengan ciri khasnya masing-masing. Mereka berlomba untuk
menuangkan “ilmu” ataupun “pengaruh” ke sebanyak-banyaknya massa. Makanya
mereka berusaha segiat mungkin dan seelegan mungkin memproduksi beragam konten
dakwah.
Peran ustaz di tengah masyarakat bagi saya ibarat “pengawas.”
Mereka yang bertanggung jawab meluruskan yang bengkok dan menempatkan dengan
tepat sesuatu yang kurang tepat. Ketika dalam suatu masyarakat mabuk-mabukan
adalah pemandangan yang wajar, maka ustaz turun di sana dan meluruskan hal itu.
Patokan mereka tentu saja ajaran agama dan moralitas yang didasari nilai-nilai
keagamaan.
Mereka harus berani mengatakan sesuatu hal itu salah, kalau
memang itu salah, kepada siapa pun. Ini inti peran mereka. Jadi kendati orang
kaya, pejabat atau mayoritas orang-orang melakukan kesalahan, maka seorang
ustaz harus dengan lantang bilang bahwa hal itu keliru. Karena amatan ini diemban
oleh mereka. Mereka ibarat pancaran lentera di alam yang gelap ini. Tanpa keberanian
mereka berkata benar, maka kita tersesat.
Dengan adanya media sosial, termasuk di Instagram tugas
mereka sebetulnya lebih ringan. Karena mereka cukup berceramah satu kali, pesannya
akan menjangkau siapa pun orang di sudut bumi ini. Terutama bagi ulama yang
banyak memiliki pengikut di media sosial. Privilese ini tak dimiliki oleh ustaz-ustaz
terdahulu.
Saya pernah bilang ke sahabat saya bahwa pengikut dalam
media sosial adalah power. Dan selayaknya kekuatan, ia akan menuntut sebuah
pertanggungjawaban. Saya bilang ke dia, power pun akan dihisab.
Pernyataan saya tentu berangkat dari besarnya daya pengaruh
mereka yang memiliki ratusan ribu bahkan jutaan pengikut di media sosial.
Mereka menjadi trendsetter bagi para pengikutnya. Mereka bisa menyebarkan
berbagai ide dan hal-hal yang berbau kebenaran kepada para penggemarnya. Pengikutnya
sering kali mengamini segala pernyataan mereka, bahkan mengamalkannya. Tentu
saja ini peran yang amat strategis untuk mempengaruhi orang.
Berkaca dari sinilah para ustaz berlomba-lomba menjaring sebanyak-banyaknya
pengikut di lautan komunitas maya itu. Ustaz yang masih paham mereka berlomba
membuat konten dakwah, tapi bagi ustaz yang sedikit “agak-agak” bukan konten
dakwah yang dibuat, kadang kala lebih sering membuat konten yang bikin baper
atau bawa perasaan. Konten-konten baper sengaja diproduksi demi menyasar
pengguna media sosial usia remaja yang porsinya cukup banyak. Dengan
konten-konten itu mereka bisa meraup banyak penggemar.
Kemesraan dengan istri yang mestinya dibatasi sengaja diumbar
entah dengan tujuan apa dalam benaknya. Ustaz yang mestinya lantang menyerukan
kebenaran justru rajin memamerkan kelekatan dengan istri. Sesuatu yang mestinya
hanya diketahui oleh mata-mata yang berada pada lingkaran pribadi, mereka
pamerkan jadi konsumsi umum.
Label “ustaz” tak menjadikan mereka tergerak untuk melantangkan
kata-kata kebenaran. Padahal di tengah-tengah kesukaran banyak orang memilah
kebenaran, ucapan mereka amat dibutuhkan.
Lebih parah lagi bagi ustaz yang bukan lagi menjadi lentera
tapi penghibur para pengikutnya. Mereka bukan
lagi berpikir untuk menyuarakan
kebenaran tapi bagaimana supaya “pengikut” saya senang. Mereka bukan kepala
bagi badan singa tapi ekor. Layaknya ekor, dia hanya mengikut laju kepala yang
diumpamakan sebagai para penggemarnya.
Ketika dakwah mereka menyinggung para penggemarnya, kemudian
banyak penggemarnya yang melayangkan seruan protes, ustaz ini justru meminta
maaf. Bukan malah semakin mengeraskan volume untuk mendengungkan kebenaran kepada
para penggemarnya.
Minta maaf akhirnya ditafsirkan bahwa ucapan sang ustaz
keliru, dan kelakuan salah mereka selama ini yang sempat disinggung sang ustaz
seakan memiliki momentum untuk menjastifikasi kebenarannya. Dengan minta maaf
atas ceramah yang sarat akan pesan kebenaran, sang ustaz seakan bilang bahwa “ceramah
saya keliru, tingkah laku kalian yang benar.”
0 komentar:
Posting Komentar