Gagasan

Mendandani Ganja Bak Malaikat

 


Ilustrasi: Pixabay.com

 

 

Semasa SMA kami memperhatikan sejumlah forum di internet yang sudah dalam kader “overdosis” untuk mendandani “ganja” sebagai obat dari segala penyakit.  Mantra itu ternyata bukan hanya dipakai tukang obat pinggir jalan, tapi juga anak muda yang belaga ilmiah.

 

Sebuah studi yang terbit dalam American Journal of Health Promotion mengungkap, mereka yang kelewat proganja memiliki pandangan berlebihan terhadap manfaat medis tanaman haram tersebut.

 

Studi yang bertajuk “Cannabis Enthusiasts’ Knowledge of Medical Treatment Effectiveness and Increased Risks From Cannabis Use” itu, berangkat dari survei terhadap pengunjung Ann Arbor Hash Bash, yakni sebuah festival ganja tahunan di Amerika Serikat.

 

Studi yang dilakukan para peneliti dari University of Buffalo, AS tersebut meminta sekitar 500 pengunjung acara untuk menjawab kuis yang menguji wawasan mereka tentang ganja. Isi pertanyaan berkutat mengenai dari mana mendapatkan informasi manfaat ganja, serta penyakit apa saja yang bisa disembuhkan ganja.

 

Hasilnya mayoritas responden percaya bahwa ganja dapat menyembuhkan epilepsi, depresi, bahkan sampai beberapa jenis kanker. Namun anggapan para proganja ini ditentang National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine (NASEM) AS. NASEM menyebut pandangan itu belum teruji secara ilmiah.

 

Mendandani ganja sebagai substansi yang penuh dengan manfaat juga ramai ditulis media Tanah Air. Arahnya beraroma semangat untuk membumikan ganja guna penggunaan medis. Layaknya cara kerja propaganda, mereka selalu menjinjing citra “penderitaan” guna memantik empati di tengah khalayak.

 

Kita masih ingat betul bagaimana perjuangan  Santi Warastuti, seorang ibu asal Yogyakarta yang sempat menuntut Mahkamah Konstitusi (MK) mengizinkan penggunaan ganja demi keperluan medis. Upaya itu ditempuh lewat gugatan formal ke MK untuk menghapus pasal larangan penggunaan narkotika golongan I. Ketentuan itu termaktub dalam pasal 6 ayat (1) dan pasal 8 ayat (1) UU Narkotika.

 

Santi begitu ambisius membongkar ketentuan dalam UU Narkotika tersebut demi pengobatan anaknya. Putri Santi bernama Pika, menderita cerebral palsy, kelainan yang menyebabkan gangguan pada otot, gerak, dan koordinasi tubuh. Penggunaan terapi ganja disebut dapat meredakan gejala kelainan yang dialami Pika.

 

Namun perjuangan Santi dipatahkan oleh putusan MK yang kukuh untuk tidak mengizinkan penggunaan narkotika golongan-1, termasuk ganja, meski untuk alasan medis.

 

Narasi khasiat ganja untuk pengobatan pasien cerebral palsy terlacak dari studi para ilmuwan di Wolfson Medical Center, Israel pada 2017 silam. Mereka mengklaim bahwa ganja medis secara signifikan memperbaiki kondisi anak-anak yang menderita kelumpuhan otak atau cerebral palsy.

 

Mereka menekankan bahwa berdasarkan “temuan sementara” pengobatan dengan minyak ganja mengurangi gejala gangguan dan meningkatkan keterampilan motorik anak-anak penderita cerebral palsy. Di samping pula meningkatkan kualitas tidur, buang air besar, dan suasana hati mereka secara umum.

 

Studi yang melibatkan 40 anak itu dilakukan bersama perusahaan ganja medis Tikun Olam selama tiga tahun.  Namun para peneliti menekankan, minyak ganja tidak diharapkan untuk menggantikan obat lain yang dikonsumsi anak-anak tersebut. Salah seorang peneliti di sana, Lihi Bar-Lev, menjelaskan bahwa pengobatan ganja tidak bisa digunakan sebagai satu-satunya pengobatan.

 

Salah seorang profesor Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sempat merespons mengenai isu legalisasi ganja medis ini. Prof. Dr. dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD, KHOM, yang juga Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Hematologi-Onkologi (Kanker) dari Pengurus Besar IDI pada Juni lalu, pernah menyatakan bahwa belum ada bukti obat ganja lebih baik ketimbang obat yang ada saat ini.

 

Termasuk untuk pengobatan nyeri kanker dan epilepsi. Namun, menurut  Prof. Zubairi ganja medis bisa menjadi pilihan atau alternatif, tapi bukan yang terbaik. Sebab, hingga detik ini belum ada penyakit yang ampuh ditangkal ganja.

 

Ketimbang menuntut legalisasi ganja medis, Prof. Zubairi meminta Santi untuk bertemu dengan para ahli agar bisa menimbang berbagai opsi pengobatan. Terlebih lagi, menurut Prof. Zubairi penggunaan ganja bagi penderita cerebral palsy manfaatnya masih rendah.

 

Sebagai rakyat awam, saat itu kami memang merasa sedikit janggal melihat seorang ibu memperjuangkan legalisasi ganja medis. Mengingat temuan ilmiah manfaat ganja bagi pasien cerebral palsy masih belum kukuh.

 

Dalam benak kami, ketika banyak opsi pengobatan lain, mengapa yang dituntut malah legalisasi ganja medis. Jika pun pengobatan itu terkendala pada “keuangan,” mengapa yang dituntut bukan hal yang memiliki manfaat lebih luas. Misalnya kesehatan gratis bagi seluruh rakyat. Atau tidak perlu muluk-muluk, mengapa tidak menuntut pengobatan penuh secara cuma-cuma untuk Pika.

 

Kemasan cerita menyentuh dari seorang ibu yang mempunyai anak dengan cerebral palsy, tentu membangkitkan empati publik. Ketika ibu itu mengalasi perjuangannya untuk melegalisasi ganja medis dengan penderitaan anaknya, maka sedikit banyak berhasil mengubah “citra” ganja. Ganja belakangan lebih diasosiasikan sebagai obat ketimbang zat haram.

 

Padahal jika ditimbang secara adil, ganja juga tidak sedikit mengandung mudarat. Seorang Ahli Saraf dari Stanford University School of Medicine mengungkap bahwa pengguna ganja berpotensi empat kali lipat untuk mengalami depresi berat secara kronis.

 

Profesor Neurobiologi dan Oftalmologi, Andrew Huberman mengatakan bahwa ganja dapat meningkatkan kejadian depresi pada individu yang tidak mengalami depresi sebelum mereka mulai mengonsumsi zat haram tersebut.

 

Andrew Huberman menjelaskan bahwa ada data yang menunjukkan kecemasan pengguna ganja kronis dapat meningkat dari waktu ke waktu jika mereka melanjutkan kebiasaannya. Kecemasan juga bisa terjadi saat pengguna tengah dalam kondisi mabuk karena efek ganja.

 

Hal ini terjadi lantaran reseptor CB1 pada tubuh manusia, yang berperan mengikat THC (bahan aktif dalam ganja yang membuat mabuk) ketika masuk ke dalam tubuh mengalami keausan. Seiring waktu, ada lebih sedikit reseptor yang tersedia dan pensinyalan yang berada di hilir reseptor tersebut menjadi semakin tidak kuat atau melemah.

 

Sehingga membuat seseorang membutuhkan lebih banyak “ganja” untuk berada dalam tahap seperti kali pertama menghisap ganja. Dan pola ini bakal meningkat secara terus menerus.

 

Promosi akan khasiat ganja kami rasa sudah dalam tahapan overdosis. Sejumlah pihak seakan menanggalkan Sains demi mendorong legalisasi ganja medis.

 

Kami sepakat bahwa diskursus mengenai ganja harus diletakan pada meja saintis, bukan publik. Sebab merekalah yang mampu dan mempunyai timbangan untuk membedah masalah ini.

 

Jika dilempar ke tengah publik, maka yang muncul narasi-narasi propagandis. Seperti diungkap Anthony Pratkanis dalam The Age of Propaganda, propaganda mengacaukan pesan utama untuk menyebarkan informasi tanpa dipahami orang.

 

Propaganda tidak seperti persuasi yang bermaksud agar targetnya memiliki kesempatan yang adil untuk menilai. Sebaliknya, ini beroperasi dengan membuat individu lengah dan memengaruhi mereka tanpa sepengetahuannya.

 

Untuk melakukan ini, propagandis mempresentasikan ide mereka dalam kemasan yang menarik secara visual, mengalihkan target dari fokus pada apa yang sebenarnya disampaikan. Hal ini dilakukan dengan penggunaan bahasa yang positif dan penataan informasi dengan cara yang menarik untuk mengalihkan perhatian target dari kebenaran asertif.

 

Makanya mereka yang proganja kerap membalut legalisasi ganja medis dengan kisah-kisah menyentuh hati. Tanpa membahasa lebih jauh dampak penggunaan jangka panjang zat itu; atau alternatif obat lain yang sudah teruji secara klinis.

 

Lebih jauh lagi, kalau memang mereka serius prokesehatan publik, maka mereka bisa mengarahkan opini publik untuk menuntut bahwa kesehatan merupakan hak seluruh individu dan negara mesti memfasilitasi itu dengan menggratiskan biaya pengobatan. Bukan malah ujug-ujug meminta legalisasi ganja.

 

 

 

 

Referensi

 

Andrew Huberman.The Effects of Cannabis (Marijuana) on the Brain & Body. YouTube, 2022. Diakses melalui https://www.youtube.com/watch?v=gXvuJu1kt48.

 

 

Anthony Pratkanis dan Elliot Aronson. The Age of Propaganda: The Everyday Use and Abuse of Persuasion. Henry Holt and Company, 2001

 

Daniel J. Kruger, PhD, dkk. Cannabis Enthusiasts’ Knowledge of Medical Treatment Effectiveness and Increased Risks From Cannabis Use. American Journal of Health Promotion, 2020.

 

Ido Efrati. Medical Marijuana Helps Kids With Cerebral Palsy, Israeli Study Finds. Haaretz, 2017. Diakses melalui https://www.haaretz.com/israel-news/2017-09-07/ty-article/.premium/medical-marijuana-helps-kids-with-cerebral-palsy-study-finds/0000017f-db4b-db22-a17f-fffb28600000.

 


About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.