Yopi Makdori
Beberapa hari ini dihebokan oleh berita tentang kebijakan kontroversial Presiden baru Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terkait pelarangan masuk dan penghentian program pengungsi dari tujuh negara, yaitu Iran, Iraq, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman ke AS pada hari Jumat lalu (BBC, 30/01/2017).
Kebijakan tersebut diketahui hanya diberlakukan untuk sementara, yakini hanya dalam jangka waktu 90 hari. Sontak kebijakan yang dicap rasis tersebut menuai kontroversi tak hanya di internal negara itu, tetapi juga seantero dunia. Hal ini terlihat dari banyaknya protes yang dilakukan untuk mengecam kebijakan tersebut.
Trump berdalih bahwa kebijakannya itu ditujukan bukan menyerang agama tertentu, melainkan untuk mengamankan keamanan dalam negerinya dari teror yang berasal dari tujuh negara dimaksud (Al Arabiya, 30/01/2017). Kebijakan Trump sebenarnya mirip seperti yang pernah dilakukan oleh Presiden AS sebelumnya, Barack Obama, di tahun 2011 lalu. Pada saat itu, Obama juga melakukan kebijakan pelarangan visa bagi pengungsi dari Iraq selama enam bulan.
Akan tetapi, tulisan ini bukan ditujukan untuk membandingkan kebijakan pelarangan dari kedua rezim, namun lebih kepada menguraikan kebijakan “brutal” apa yang telah dilakukan oleh Presiden Obama terhadap negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim.
Apa ada yang salah dengan pola pikir kita? Pertanyaan itu seketika muncul tatkala melihat berita yang menunjukan berbagai penolakan terhadap kebijakan Trump terkait pelarangan kunjungan warga negara dari tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim ke AS, sedangkan mereka diam dengan kebijakan Obama yang membombardir negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Watak Obama Hawkish
Meskipun Presiden Obama dari Partai Demokrat, tak ada yang menduga bahwa dalam masa kepemimpinannya selama dua periode sangatlah hawkish. Obama memang mengurangi tentara yang diterjunkan di Afghanistan dan Iraq, tapi ia secara signifikan memperbesar penggunaan peralatan perang udara dan Pasukan Operasi Khusus.
Di tahun 2016, operasi khusus AS berada di 70% negara-negara di seluruh dunia, atau dengan kata lain sekitar 138 negara. Menurut peneliti Council on Foreign Relation’s, Micah Zenko, pada tahun 2016 saja, pemerintahan Obama setidaknya telah menjatuhkan 26.171 bom. Hal ini berarti di tahun 2016, dalam sehari AS menjatuhkan 72 bom, 3 bom setiap jamnya. Kebanyakan bom-bom tersebut dihujamkan di tanah Suriah dan Iraq. Bom-bom tersebut juga dijatuhkan di wilayah Afghanistan, Somalia, Libya, Pakistan, dan Yaman.
Drone merupakan senjata utama pemuntah bom pemerintahan Obama, serangan bom pemerintahan ini bahkan 10 kali lebih banyak dibandingkan pada masa Bush. Pada 2016 lalu, Washington mengklaim bahwa dari 2009 hingga akhir 2015 dari 473 kali serangan terhadap teroris di negara-negara sarang terorisme, seperti Pakistan, Somalia, Libya dan Yaman hanya menewaskan 64 sampai 116 non-kombatan (warga sipil).
Data tersebut ditolak oleh The Bureau of Investigative Journalism (BIJ), sebuah lembaga independen bermarkas di Inggris yang didirikan oleh David dan Elaine Potter di 2010, BIJ memaparkan bahwa korban sipil yang meninggal terekam sekitar 380 hingga 801 orang. BIJ memperoleh data tersebut dari berbagai sumber, seperti jurnalis lokal dan internasional, NGO investigator, curian data pemerintah, dokumen pengadilan, dan riset lapangan. Angka tersebut berbeda jauh seperti yang disebutkan oleh Washington, atau enam kali lebih besar dari data resmi yang dirilis pemerintah AS.
Presiden Obama memang dikenal sebagai Presiden yang secara signifikan memperbesar penggunaan drone dalam Perang Melawan Teror (war on terror). Penggunaan drone-drone pembantai tersebut hampir semuanya di atas wilayah negara muslim (negara berpenduduk mayoritas muslim), seperti Pakistan, Yaman, Iraq, Somalia, Libya dan Afghanistan.
Mungkin Trump akan melakukan hal yang sama seperti yang Obama lakukan, hal ini terlihat dari jumlah serangan drone yang dilakukan oleh pemerintahan Trump. Di akhir 2016—saat awal Trump menjabat presiden—total serangan drone yang dimuntahkan di tanah Pakistan sekitar 51 kali, sedangkan di awal 2017 ini, serangan drone di wilayah Yaman 145-165 kali, membunuh 65-101 warga sipil, dan 8-9 di antaranya merupakan anak-anak (The Bureau of Investigative Journalism).
Mereka berdua tak jauh beda, hanya Obama lebih tercitra dengan baik. Seharusnya kita juga memprotes dengan keras aksi sewenang-wenang Washington terhadap warga muslim yang dihujani bom oleh “malaikat maut” AS di udara. Kenyataannya kita menutup mata terkait hal tersebut dan lebih tertarik mengkritis kebijakan Trump yang dicap rasis. Namun kita perlu tahu bahwa nyawa seorang manusia sangatlah berharga, dan seharusnya hal itu yang perlu kita bela.