Grenthink Views

Menyingkap Akar Konflik Rohingya


Ilustrasi: Pxfuel.com

Kekerasan komunal yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar kembali terulang. Ratusan ribu orang Rohingya terpaksa meninggalkan kampung halamannya untuk menghindari kekerasan yang terjadi.

PBB mengatakan bahwa lebih dari 270 ribu orang Rohingya meninggalkan kampungnya demi menghindari konflik yang terjadi di sana. Etnis Rohingya banyak bermukim di wilayah negara bagian Rakhine, yang mayoritas penduduknya merupakan etnis Burma dan beragama Budha. Mereka banyak terkonsentrasi di bagian utara negara bagian tersebut, seperti di kota Maungdaw dan Buthidaung.

Lalu apa sebenarnya akar dari konflik tersebut?

Akar konflik yang menimpa etnis Rohingya begitu rumit dan kompleks. Pemerintah Myanmar mengklaim bahwa etnis Rohingya merupakan imigran yang berasal dari Bangladesh, saat Myanmar dan Bangladesh berada di bawah kolonialisasi Inggris.

Pascaperang Inggris-Burma I berakhir pada 1826, Inggris menjalankan kebijakan imigrasi yang sangat terbuka di wilayah yang sekarang dikenal dengan Rakhine itu. Saat itu bahkan Inggris mengundang para rentenir atau yang biasa disebut dengan Chettiars yang berasal dari India Selatan untuk membantu administrasi pemerintah kolonial di sana.

Dalam buku Between Integration and Secession karya Moshe Yegar, diketahui ternyata Chettiars ini banyak mengambil tanah-tanah milik petani-petani Burma karena para petani tersebut tidak bisa membayar hutang-hutangnya saat terjadi Great Depression pada 1929. Sejak saat itu Chettiars ini menjadi aktor antagonis di tengah-tengah penduduk Burma. Inilah akar kebencian yang mendalam penduduk Burma terhadap Chettiars yang merupakan orang India Selatan.

Akhirnya sentimen anti-India Selatan itu mengemuka ketika terjadi pemberontakan orang-orang Burma terhadap rezim kolonial Inggris pada periode 1930-1932. Menurut buku Encyclopédie des Violences de Masse, Inggris menggunakan orang-orang di luar etnis Burma untuk menghalau pemberontakan yang dipimpin oleh U Saya San, yang merupakan seorang biksu di sana.

Salah satu etnis yang digunakan Inggris untuk menghalau pemberontakan tersebut adalah India Selatan. Namun selain India Selatan, terdapat juga etnis-etnis lain seperti Karen, Chin dan Kachin. Hal ini semakin memperbesar kebencian etnis Burma terhadap orang-orang India Selatan. Di periode yang sama, terjadi juga kerusuhan antara orang Burma dan orang India Selatan karena sentimen tersebut. Selain sentimen terhadap orang India Selatan, merebak juga sentimen anti-China di tengah-tengah masyarakat Burma.

Masih menurut buku yang sama, sentimen anti-China ini terjadi pada Januari 1931. Saat itu meletus kerusuhan antara warga asal China dan penduduk Burma yang menewaskan 12 orang dan melukai 88 orang.

Pada periode Juli-Agustus 1938, sentimen anti-India Selatan bertransformasi menjadi sentimen anti-Islam. Pada periode tersebut terjadi serangan terhadap imigran muslim asal India oleh rakyat Burma, tepatnya di kota Rangoon. Di kemudian hari sentimen anti-Muslim ini dilekatkan kepada etnis Rohingya dengan justifikasi bahwa etnis tersebut berasal dari Bangladesh yang menempati wilayah Rakhine saat rezim kolonial berkuasa di sana.

Padahal menurut Michael W. Charney kata “Rohingya” sendiri merujuk pada orang-orang Muslim Arakan yang menempati wilayah Rohang, yang sekarang dikenal dengan Rakhine. Wilayah Rohang sebelumnya merupakan wilayah kerajaan Arakan, sebelum ditaklukan oleh kerajaan Burma.

Artinya, orang-orang Rohingya merupakan etnis asli wilayah Rohang atau yang saat ini dikenal dengan Rakhine. Namun Hukum Kependudukan Burma 1982, menyatakan bahwa orang-orang Rohingya bukanlah suku-bangsa asli Myanmar dan secara tegas menyatakan bahwa Rohingya bukan bagian dari warga negara Myanmar. Hal ini merupakan salah satu pemicu penindasan terhadap Muslim Rohingya oleh orang-orang Burma di era ini karena mereka menganggap bahwa Rohingya tidak memiliki hak untuk menempati tanah Burma atau Myanmar.

Bahkan sebelum terbitnya undang-undang 1982, militer Burma telah melakukan tindakan represif terhadap Rohingya, seperti yang terjadi pada tahun 1978. Pada saat itu, militer Myanmar mendorong 200 ribu lebih orang Rohingya keluar dari Myanmar. Bahkan militer tak segan melakukan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap orang-orang Rohingya. Ini juga terjadi pada 1999 dan 2000, namun kali ini aktornya merupakan etnis Burma itu sendiri, bukan militer.

Selain dipicu oleh Hukum Kependudukan Burma 1982, faktor lain yang mengilhami penindasan terhadap orang-orang Rohingya adalah sentimen anti-Islam yang disebarkan oleh biksu Budha yang bernama Ashin Wirathu.

Wirathu menyebarkan kebencian terhadap Muslim Rohingya. Dia mengatakan Rohingya akan mengubah komposisi demografi Myanmar yang saat ini mayoritas etnis Burma dan beragama Budha, menjadi mayoritas Rohingya dan beragama Islam. Ia juga mengkonstruksikan bahwa Rohingya akan mengancam kedaulatan negara Myanmar. Ashin Wirathu juga merupakan dalang di balik gerakan “696” yang merupakan gerakan untuk memboikot produk-produk dan usaha-usaha milik Muslim.

Pada 2012, terjadi kembali kekerasan komunal yang menimpa etnis Rohingya. Sumber resmi mengatakan bahwa hal tersebut dipicu oleh tindakan tiga orang pemuda Muslim yang merampok, memperkosa, dan membunuh seorang wanita di Rakhine yang beragama Budha. Namun seorang dokter pemerintah yang laporannya dimuat dalam Democratic Voice of Burma menyatakan bahwa tidak ditemukan bekas pemerkosaan terhadap wanita tersebut dan ternyata salah satu dari ketiga pemuda itu juga beragama Budha.

Kerusuhan lebih parah terjadi pada 2016 lalu, di mana lebih dari 1.000 bangunan milik orang-orang Rohingya dibakar. Tahun ini, kerusuhan kembali terulang. Pemerintah Myanmar mengklaim bahwa kerusuhan yang terjadi saat ini dipantik oleh serangan orang Rohingya terhadap beberapa pos polisi di sana.

Bagi sebagian warga Burma kebencian terhadap Rohingya merupakan kombinasi antara kebencian terhadap orang India Selatan yang dahulu pernah mengambil tanah-tanah milik leluhur mereka dan ketakutan yang dikonstruksikan oleh Wirathu bahwa mereka akan mendirikan dominasi Muslim di negara itu. Juga terjadinya Islamophobia yang disebarkan oleh media-media Barat selama ini.

Polisi, militer, Wirathu dan pemerintah Myanmar khususnya menjadi pihak yang harus bertanggungjawab dalam pembantaian biadab tersebut. Bukan justru salah satu pemeluk agama tertentu.

Yopi Makdori
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed)

About Yopi Makdori

Diberdayakan oleh Blogger.