Ekonomi Politik Internasional

#Cakrawala Pandangan: Tetap Bekerja meski Jauh dari Sempurna


Ilustrasi:Stocksnap.io


Sebelum membacanya, mari panjatkan doa untuk para guru kita yang mengajari kita Alif Ba Ta sampai para guru di perguruan tinggi. Semoga kelimpahan berkah tercurahkan kepada mereka atas segala ilmu yang telah diberikannya.


Al fatihah...


Catatan: #Cakrawala Pandangan merupakan ulasan mengenai pandangan dan pendapat seseorang yang kami amini sehingga layak untuk disebarkan tanpa menyebut sosoknya.


Jahe hangat tanpa gula menjadi gerbang pembicaraan kami mengenai konsep bekerja. Terdengar sederhana, tapi ketika saya memahami secara saksama ternyata amat bermakna.


Kami ingat poin terpenting dari pembicaraan malam itu adalah bahwa bekerja menjadi muruah bagi setiap laki-laki. Tidak peduli hasil yang didapat, selama mereka mengolah tenaga atau memutar otak untuk bekerja, maka telah gugurlah kewajibannya.


Penekanan terhadap konsep bekerja juga beririsan dengan masalah akad. Sebagai Muslim, kami diminta untuk memahami serta menjalankan secara ketat setiap butir isi akad yang dibuat dengan pemberi kerja.


Misalnya begini, ketika dalam akad mengatakan bahwa “kami diminta bekerja selama 9 jam,” maka tidak boleh tidak kami harus tunduk dengan ketentuan tersebut. Ketundukan ini harus totalitas, artinya ketika jam kerja telah dimulai, maka kami wajib menjalankan berbagai tugas yang telah diamanatkan. Dan itu tanpa pengecualian, kecuali atas seizin atasan.


Konkretnya begini, jangankan untuk menyambi menggarap pekerjaan lain yang menghasilkan “cuan” tambahan, menonton Youtube saja, jika itu tidak ada kaitannya dengan pekerjaan diharamkan. Sebab prinsipnya tadi, kita mesti taat pada akad yang telah ditentukan.


Jadi seorang pekerja dia akan terikat dengan akad sepanjang jam kerjanya. Terkecuali pekerjaan kita by project bukan by time. Pekerjaan yang berbasis proyek hanya menuntut agar pekerjaan itu dirampungkan sesuai dengan ketentuan, tidak tersekat oleh waktu. Artinya mereka yang bekerja by project halal mencari penghasilan lain selama akad proyek itu ditunaikan.


Lain halnya dengan pegawai negeri sipil (PNS) misalnya, pekerjaan mereka kebanyakan by time. Maka selama ia tengah on duty sebagai PNS, maka dilarang mereka menyambi pekerjaan lain yang tidak terkait dengan tugasnya. Maka seorang PNS atau pegawai apa pun yang terikat dengan jam kerja, tidak boleh mengurusi usaha pribadinya ataupun urusan lain yang itu tidak berhubungan dengan tugasnya. Kami diwanti-wanti bahwa ketika melanggar itu, maka kami telah berlaku zalim karena mengkhianati akad.


Ini baru “pekerja,” lantas bagaimana dengan pejabat? Pejabat jam kerja mereka 24 jam. Artinya selama seorang menjadi pejabat, maka seluruh waktunya selama 24 jam dilarang melakukan pekerjaan lain yang itu bermuara pada bisnis.


Itulah makanya seorang pejabat seluruh kebutuhan hidupnya beserta keluarga ditanggung pakai duit “rakyat.” Mulai kebutuhan pulsa, kendaraan, bensin, hunian, makan, jajan, dan lain sebagainya itu ditanggung, bahkan difasilitasi dengan ajudan.


Sebab rakyat ingin mereka “fokus” bekerja tanpa terbebani pikiran anak istrinya besok makan apa. Kenapa seorang pejabat waktu kerjanya 24 jam? Waktu 24 jam bekerja tidak dipahami secara harfiah mereka bekerja selama 24 jam nonstop, tetapi “label” pejabat mereka itu melekat 24 jam. Karena pejabat tentu saja rawan akan kepentingan. Ibarat gula akan ada banyak semut yang ingin mendekat.


Karena wewenang pejabat ini bisa berakibat besar serta berdampak luas. Bayangkan ketika seorang pejabat berbisnis, mana mungkin mereka menelurkan kebijakan yang tidak menguntungkan bisnisnya. Kami jamin ketika pejabat berbisnis, maka kebijakan yang mereka telurkan pasti ingin menguntungkan dirinya serta keluarganya. Sebab itu demi mencegah hal tersebut, seorang pejabat mestinya dijauhkan dari praktik bisnis.


Biar mereka yang memang sudah mengikhtiarkan diri dalam dunia bisnis menggarap lahan bisnis itu. Tapi apa yang terjadi sekarang? Pejabat dibebaskan dengan leluasa membangun kerajaan bisnis. Kalaupun tidak demikian, mereka begitu lekat dengan orang-orang bisnis bak serabut kelapa dengan tempurungnya. Kita percaya kelekatan itu hanya sebatas pertemanan? 


Ketika pejabat merambah sektor bisnis, maka terciptalah akumulasi kapital di tangan mereka yang dikehendaki sang pejabat. Mengapa demikian? Karena sang pejabatlah yang mempunyai wewenang atas suatu persoalan.


Misalnya begini, pejabat ini menargetkan untuk membangun kereta layang antara tempat A menuju tempat B,C,D,E,F,G dan H. Maka pejabat yang “rakus” bisa saja terjun ke bisnis properti untuk membuka perumahan di sekitar stasiun kereta layang tersebut, di saat kebijakan itu belum dirilis ke publik. Perumahan itu pasti terjual dengan harga tinggi karena dekat fasilitas umum.


Jika pun tidak begitu, mereka bisa saja menggandeng pihak lain yang secara badan hukum tidak terkait dengan namanya. Agar pihak tersebut membangun perumahan di daerah yang nantinya akan dibangun stasiun. Ini baru contoh kecil bagaimana merusaknya pejabat yang terjun dalam dunia bisnis.


Lahan di sekitar stasiun yang mestinya dinikmati rakyat, malah tiba-tiba diborong oleh seseorang sebelum pemilik tanah tahu bahwa lahan itu bakal menjadi tempat sentral. Andai kata dibiarkan tidak ada praktik demikian, maka ekonomi masyarakat tentu berkembang. Karena kapital tidak terkonsentrasi di tangan pejabat dan para kroninya.


About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.