Grenthink Views

Musuh Bersama itu Bernama “Terorisme”?


Ilustrasi: Pixabay.com

Oleh Muhammad Iskandar Syah

Sangat sulit untuk mendefinisikan terorisme dewasa ini, bahkan PBB selaku organisasi internasional yang banyak menaungi berbagai negara-negara di dunia, selama lebih dari 70 tahun belum rampung untuk mendefinisikan kata tersebut. Hal ini menunjukan betapa politisnya pendefinisian terorisme di PBB karena berbagai macam kepentingan. Bahkan Noam Chomsky, seorang intelektual anarkis, berkomentar mengenai istilah terorisme yang menurutnya memiliki sifat yang amat subjektif. Bagi Chomsky, terorisme bagi satu pihak sama dengan gerakan pembebasan, atau bahkan pahlawan bagi pihak lain. Jeckson dan Sorensen (2013), mendefinisikan terorisme sebagai tindakan yang melanggar hukum atau tindakan kekerasan yang mengancam peradaban, seringkali untuk mencapai tujuan politis, agama, atau tujuan-tujuan lain yang serupa. Sedangkan Kent Lyne Oots, mendefinisikan terorisme sebagai : (1) sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau membuat kehancuran ekonomi atau material; (2) sebuah metode pemaksaan tingkah laku pihak lain; (3) sebuah tindakan kriminal bertendensi mencari publisitas; (4) tindakan kriminal bertujuan politis; (5) kekerasan bermotif politis; dan (6) sebuah aksi kriminal guna meraih tujuan politis atau ekonomis (Oots dalam Sihbudi, 1993: 94). Namun demikian, kurang afdal jika kita hanya memuat definisinya saja tanpa menguraikan sejarah terorisme itu sendiri.

Terorisme dalam Sejarah

Terorisme bukanlah fenomena modern, terorisme telah ada jauh sebelum peristiwa 11 September di New York. Terorisme yang terekam oleh sejarah sejak abad pertama masehi. Pada masa itu orang-orang Zelot, kaum Yahudi yang menentang pendudukan Roma atas Palestina membunuh orang-orang Roma di siang hari di depan umum dalam rangka menakut-nakuti pemimpin Romawi di wilayah tersebut. Dalam dunia Muslim terorisme pertama kali dipraktikkan oleh kelompok yang disebut Assassins, atau “pemakan ganja,” Muslim Syiah militan abad kesebelas yang membunuh orang-orang yang menolak mengadopsi Islam versi mereka. Praktek terorisme terbesar dilakukan oleh bangsa Eropa saat menginvasi dunia-dunia baru dan merampok sumber daya di dalamnya. Ratusan juta manusia terbunuh karena keserakahan tersebut, terutama di benua Amerika dimana banyak suku asli di sana yang terbunuh karena invasi Eropa.

Pada abad kesembilan belas, kaum anarkis yang menentang bentuk pemerintahan apapun, banyak menggunakan praktek-praktek terorisme, meskipun banyak juga kaum anarkis yang memperjuangkan cita-citanya dengan cara damai. Beberapa pemimpin dunia menjadi korban pembunuhan yang disebut “propaganda perbuatan” oleh kaum anarkis, antara tahun 1881-1901, termasuk Presiden Amerika Serikat William H. McKinley (1843-1901), Presiden Prancis Marie-Francois Sadi Carnot (1837-1894), dan Raja Italia Umberto I (1844-1900). Pembunuhan-pembunuhan ini dipengaruhi oleh sebuah kelompok Rusia bernama “Kehendak Rakyat,” yang mencoba tetapi gagal untuk membunuh Tsar Alexander Ulyanov (1866-1887), kakak Vlademir Lenin Ilich.

Lenin (1870-1924), pemimpin revolusi Rusia, menggunakan terorisme sendiri setelah Revolusi Bolshevik Rusia tahun 1917 dan bertanggungjawab untuk melancarkan Teror Merah melawan musuh-musuhnya pada musim panas 1918. Dipimpin oleh Felix Dzerzhinsky (1877-1926), pendiri polisi rahasia Bolshevik, Cheka, metode-metode teroris digunakan terhadap semua kelas sosial, terutama terhadap petani yang menolak menyerahkan padi mereka kepada pemerintah Soviet. Tetapi penggunaan teror negara oleh Lenin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan yang dipraktikkan oleh penggantinya, Josef Stalin (1878-1953), yang selama upaya Soviet melakukan kolektivisasi peternakan dan industrialisasi masyarakat telah membunuh jutaan warga Soviet. Pada 1934, Gulag (sistem kamp penjara untuk tahanan politik Soviet) menahan jutaan orang yang dituduh melakukan segala macam kejahatan yang dibuat-buat. Gulag, yang kemudian hari menjadi terkenal melalui novel Alexander Solzhenitsyn, The Gulag Archipelago, terdiri atas kamp-kamp kerja yang membentang melintasi Siberia dan jauh di Soviet utara dimana lebih dari satu juta orang meninggal.

Praktek terorisme juga dilakukan oleh rezim Mao Zedong, Frank Dikotter, seorang sejarawan Hong Kong yang dikutip melalui The Independent.co.uk, menemukan bahwa saat Mao menerapkan “Great Leap,” atau lompatan besar di tahun 1958-1962 untuk mengejar ketertinggalan ekonomi Cina dari Dunia Barat, sedikitnya 45 juta penduduk Cina telah terbunuh karena dipaksa bekerja, kelaparan atau dipukul dalam kurun waktu tersebut (empat tahun). Hal ini merupakan pembantaian terbesar ketiga pada bad ke-20 setelah Gulag di Soviet dan Holocaust.

Tak ketinggalan pemimpin bangsa kita sendiri pun melakukan praktek keji tersebut, saat Indonesia dibawa pimpinan Soeharto dibantu oleh kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta yang menyediakan daftar orang yang diduga komunis kepada angkatan bersenjata Indonesia (Friend, 2003: 117). Peristiwa ini terjadi tatkala kelompok komunis Indonesia gagal dalam melancarkan aksi kudeta pada 30 September 1965 yang kemudian diikuti dengan lengsernya Soekarno dari puncak kekuasaan dengan tuduhan mendalangi aksi kudeta tersebut. Kemudian kekuasaan Indonesia dipegang oleh Soeharto atas pilihan MPRS yang berisi orang-orang pro Soeharto setelah pemecatan para Soekarnois di MPRS. Jumlah pasti korban genosida terbesar abad ke 20 di Indonesia tersebut sangat sulit untuk diketahui, hanya sedikit akademisi dan wartawan Barat di Indonesia pada saat itu. Sebelum pembantaian usai, angkatan bersenjata Indonesia memperkirakan sekitar 78.500 orang telah meninggal, sedangkan menurut orang-orang komunis, diperkirakan 2 juta orang meninggal. Di kemudian hari angkatan bersenjata memperkirakan 1 juta orang telah dibantai (Vickers, 2005: 159). Sebagian besar para sejarawan sepakat bahwa sedikitnya setengah juta orang dibantai dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, dan digorok oleh kelompok militer dan warga sipil.

Dan sekarang, praktek terorisme banyak juga dilakukan oleh negara seperti Israel yang banyak membunuh warga Palestina, Myanmar dengan etnis Rohingyanya, Suriah dibawa pimpinan Bashar Al Assad yang banyak membantai warganya sendiri, dan negara-negara lainnya. Hal tersebut menunjukan bahwa kecenderungan terorisme bukan hanya dicontohkan oleh segolongan kaum radikal, namun juga oleh negara atau yang lazim disebut dengan “state-sponsored terrorism”.

Terorisme = Musuh Bersama?

Awal mula terorisme banyak menyita perhatian publik ketika terjadi peristiwa penabrakan pesawat komersil Amerika Serikat (AS) yang sebelumnya telah dibajak oleh kelompok teroris ke gedung kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001. Pemerintah AS bereaksi cepat dengan menerapkan kebijakan “war on terrorist,” ditambah dengan bantuan media untuk membesarkan isu ini, berhasilah masyarakat dunia terkonstruksi persepsinya untuk menganggap terorisme adalah musuh bersama terbesar mereka. Sayangnya, konstruksi musuh bersama tersebut diikuti pula dengan pengontruksian masyarakat tentang kaitannya salah satu agama yang dekat dengan terorisme, sehingga membuat jelek wajah agama tersebut. Agama yang dimaksud itu ialah Islam,  pengondisian Islam sebagai agama yang erat kaitannya dengan terorisme dikarenakan banyak peraktik-praktik pengeboman dilakukan oleh muslim ditambah dengan peran dari media yang seakan-akan mempercepat pengondisian tersebut.

Lalau pertanyaannya apakah benar “terorisme” sebagai musuh bersama umat manusia? Mungkin banyak yang berpendapat bahwa pertanyaan tersebut tak membutuhkan jawaban dikarenakan sudah secara gamblang terlihat bahwa terorisme merupakan musuh bersama bagi umat manusia. Namun dalam tulisan ini,  penulis ingin menguak atau setidaknya menjelaskan alasan secara jelas mengapa ada pengondisian bahwa terorisme merupakan musuh bersama.

Sejak berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan bubarnya Uni Soviet sebagai rival negara demokrasi-kapitalis Amerika Serikat di awal dekade 90-an terjadi perubahan konsep keamanan dalam Hubungan Internasional. Dahulu keamanan dipahami hanya berbicara mengeni kalkulasi materi yang sangat bersifat tradisional yang militeristik. Konsep keamanan tersebut menekankan titik fokus pada negara, artinya negaralah sebagai objek yang perlu dilindungi dari ancaman. 

Namun semenjak berakhirnya Perang Dingin, muncul konsep keamanan baru, seperti “human security,” atau keamanan terhadap manusia. Konsep keamanan ini menitikberatkan pada perlindungan terhadap eksistensi manusia dengan dasar bahwa manusialah yang sebenarnya menjalankan negara dan juga manusialah yang menjadi alasan mengapa negara ada, yaitu untuk melindungi manusia dari anarki alamiah. Dari landasan tersebut maka masuklah terorisme sebagai musuh bersama umat manusia karena tindakan terorisme sendiri mengancam eksistensi manusia, melihat sasaran mereka ialah manusia.

Upaya pengondisian besar-besaran menjadikan terorisme sebagai musuh bersama umat manusia dilakukan oleh AS pasca tragedi 9/11. Sebelumnya pemerintah AS mengondisikan persepsi masyarakatnya untuk percaya bahwa musuh bersama mereka adalah komunisme, persis apa yang dilakukan oleh rezim orde baru terhadap masyarakat Indonesia.

Pasca tragedi 9/11, pemerintah AS menuding kelompok Al Qaeda yang bertanggung jawab atas serangan tersebut. Hingga akhirnya AS mencanangkan kebijakan war on terrorism, di mana pengaplikasian dari kebijakan tersebut adalah melakukan preventive strike dengan pertimbangan yang unilateralisme untuk menginvasi Afganistan yang dituduh sebagai sarang dari kelompok Al Qaeda. Menurut Mubah (2007),  karakter AS tersebut dikarenakan rezim yang berkuasa pada saat itu dipengaruhi oleh kelompok neokonservatif yang menghendaki kebijakan luar negeri AS bersifat hawkish.

Pengondisian terorisme sebagai musuh bersama tak lebih dari upaya kalangan neokonservatif di AS untuk mencapai kepentingan-kepentingannya. Mereka mencari-cari alasan terdapat keterkaitan antara Osama Bin Laden dengan rezim Saddam Hussein di Iraq. Kaitannya, Osama dengan organisasinya Al Qaeda memperoleh pasokan persenjataan dari rezim Saddam untuk menyerang kepentingan AS di seluruh dunia, termasuk WTC dan Pentagon. Dengan kata lain, AS berusaha menyetir opini publik internasional melalui media yang mereka kuasai kalau dalang sesungguhnya dalang dibalik peristiwa 9/11 ialah Saddam Hussein (Mubah, 2007: 159-160).

David Duke berpendapat sebaliknya mengenai tudingan Bush terhadap Taliban  dan Iraq terkait dengan terorisme. Ia dengan berani memilih jalur yang berseberangan dengan pendapat mayoritas publik AS dengan menyatakan bahwa Israellah yang semestinya ditempatkan pada posisi puncak sebagai target AS, sebab negara ini telah melakukan tindakan terorisme terhadap bangsa Palestina dan penghianatan secara sadar terhadap rakyat AS. Bagi Duke, Israel adalah surga teroris dan AS telah diperalat untuk memuaskan hawa nafsunya dengan menyuplai miliaran dolar yang diperoleh dari pajak rakyat AS untuk memenuhi kebutuhan persenjataan canggih yang digunakan untuk melakukan pembunuhan terhadap bangsa Palestina (Duke, 2004: 11-26).

Dari sedikit uraian tadi penulis berusaha membuka cakrawala pengetahuan kita bahwa terorisme menjadi musuh bersama umat manusia merupakan hasil dari pengondisian pemerintah AS dengan bantuan media mainstream. Munculnya asosiasi terorisme dengan Islam juga tak jauh berbeda dengan upaya pengontruksian tersebut. Penulis tak bermaksud untuk menghilangakan daftar tindakan terorisme sebagai musuh bersama umat manusia, namun di sini penulis lebih berusaha untuk menegaskan kembali bahwa terorisme bukan hanya tindakan yang dilakukan oleh kalangan penganut agama tertentu, namun lebih dari itu, tindakan terorisme bagi penulis adalah segala bentuk kekerasan dan pembunuhan yang mengancam eksistensi manusia di muka bumi ini tanpa terpaku pada siapa yang melakukan tindakan tersebut.

Re-Constructing Common Enemy

Terdapat sebuah anekdot yang menggelikan tentang terorisme dan petir, sebelum peristiwa 9/11, di AS jauh lebih sedikit warga AS terbunuh karena tindakan terorisme dibanding terbunuh karena serangan petir di sana (Mueller, 2004: 110). Peristiwa 9/11 seakan menjadi titik balik dari konsepsi common enemy di komunitas internasional yang sebelum adanya peristiwa itu terorisme masih dilihat sebagai kejahatan kecil (belum dilihat dapat berdampak secara luas bagi komunitas global). Kemudian pasca peristiwa itu, AS meyakinkan dunia bahwa ia dan aliansinya harus menghancurkan rezim yang menyeponsori terorisme, dalam hal ini Afganistan dan Iraq yang dituduh oleh AS menyembunyikan senjata pemusnah massal. Oleh karena itu, AS dan aliansinya harus segera mengambil tindakan dengan cara menyerangnya terlebih dahulu sebelum AS dan negara-negara lain yang diserang duluan (preventive strike). 

Argumen itulah yang melandasi invasi AS ke Afganistan dan Iraq di tahun 2003. Lebih lanjut, meskipun sebagian komentator berargumen bahwa perang yang dipimpin AS di Iraq menyebabkan “serangan balik terorisme”, yang berarati bahwa perang cenderung meningkatkan, bukan menurunkan, potensi rekrutmen terorisme internasional (Mann, 2003: 159-193).

Mubarok (2010), di dalam tesis magisternya menyebutkan bahwa saat terjadi peristiwa ledakan bom di Hotel JW Marrion dan Ritz Carlton (2009-2010), media Indonesia, seperti Kompas banyak memberitakan yang mengarahkan terorisme sebagai musuh demokrasi. Kompas sendiri bahkan sampai mengutip pernyataan dari Presiden Prancis Nicholas Sarkozy, Kompas mengutip bahwa “... terorisme adalah musuh demokrasi”. (Mubarok, 2010: 82).

Di sini kita hendak mencoba mengonstruksikan kembali apa saja sebenarnya yang lebih pantas atau lebih utama kita sebut sebagai common enemy. Maka dari itu, supaya kita bisa dengan runut mengkonstruksiakanya maka dibutuhkan pertanyaan “common enemy bagi siapa?”, seperti yang telah disebutkan di atas, kita di sini hendak mengonstruksikan kembali apa sebenarnya yang pantas disebut musuh bersama, pertanyaan tadi bisa dijawab dengan musuh bersama bagi umat manusia, bukan bagi eksistensi rezim maupun kekuasaan tapi bagi eksistensi manusia dan kesejahteraannya di dunia ini. 

Lalu, apakah yang paling besar mengancam eksistensi manusia dan kesejahteraannya? Terorisme memang masuk kebdalam salah satu ancaman tersebut, namun apakah terorisme yang paling besar ancamannya terhadap eksistensi manusia dan kesejahteraan mereka? Matt McFarland dalam tulisannya yang dimuat di halaman Washington Post pada 20 Februari 2015 dengan judul The 12 Threats to Human Civilization, Ranked, menyebutkan bahwa terdapat 12 hal yang dapat mengancam peradaban manusia. Kedua belas ancaman tersebut seperti, kecerdasan buatan, unknown consequences, biologi buatan, perubahan iklim secara ekstrem, nanoteknologi, perang nuklir, ancaman jatuhnya asteroid, global pandemi, letusan gunung berapi besar, runtuhnya ekologi, runtuhnya sistem status quo, dan pemerintahan global yang buruk. Ancaman -ancaman tersebut sedikit banyak belum terlalu dirasakan imbasnya untuk saat ini.

Ancaman paling besar terhadap eksistensi manusia dan kesejahteraannya bagi penulis pribadi sangatlah banyak, namun di sini kita berusaha mencari yang paling mengancam. Kalau kita berkenan untuk menengok sejarah peradaban-peradaban masa lalu, kita akan banyak mendapati  fakta bahwa banyak manusia terbunuh karena perang dan wabah penyakit. Namun, di tengah zaman yang banyak menikmati perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat, masalah wabah penyakit tak terlalu menghantui kecuali hasil ketakutan yang diciptakan oleh media massa. Perang, bagi penulis merupakan ancaman yang akan sangat besar memusnahkan manusia dan juga menyengsarakanya. Banyak orang-orang terdahulu tewas dengan sia-sia gara-gara perang, perang tak lain adalah sesuatu yang diciptakan oleh pemimpin-pemimpin ekspansionis dan haus akan kekuasaan. Perang tak timbul dengan sendirinya, lebih dari itu perang merupakan sebuah cara untuk memenuhi kerakusan penguasaan-penguasa bangsa. Perang banyak tercipta karena didorong oleh pemimpin-pemimpinnya.

Pemimpin yang haus akan kekuasaan maka akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan kekuasaannya dan memperbesar wilayahnya untuk menunjang keberkelanjutan hegemoni negara-bangsanya. Penguasa-penguasa yang rakus juga pada akhirnya berbuat sewenang-wenang pada rakyatnya, hingga akhirnya menimbulkan kesengsaraan pada rakyatnya. Bahkan, kesengsaraan itu tak hanya dialami oleh rakyatnya saja namun oleh rakyat dari negara lain. Kesengsaraan yang dialami oleh rakyat di negara lain bahkan akan lebih parah. Kesengsaraan tersebut dikarenakan kerakusan dari negara ekspansions untuk merebut kekayaan alam dari negara lain. Dengan mengatasnamakan demokratisasi dan perang terhadap terorisme negara itu bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dan kedaulatan negara lain. Negara seperti itu seakan menjadi pahlawan di setiap tindakannya, padahal ia ingin menguasai berbagai sumber daya untuk menopang keberlangsungan hegemoninya supaya kerakusan mereka terus terpenuhi. 

Negara penjajah itu akan melakukan berbagai cara dan modal yang ia miliki, termasuk modal penguasaan akan ilmu pengetahuan dan teknologi. Negara ini menciptakan pesawat-pesawat tanpa awak yang dipersenjatai untuk diterbangkan di wilayah negara lain untuk membantai rakyat sipil dari negara lain dengan legitimasi perang terhadap terorisme, padahal ia sendiri yang patut kita sebut sebagai teroris. Penulis yakin pembaca sudah mengerti negara mana yang penulis maksud.

Terorisme memang musuh bersama bagi manusia namun, tindakan terorisme tak terbatas hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu, namun bisa juga dilakukan oleh sebuah negara untuk menjaga keberlangsungan kekuasaannya. Ia akan melakukan berbagai cara demi menjaga kekuasaannya untuk memenuhi kerakusannya yang tak pernah merasa terpenuhi meski telah merampok banyak sumber daya yang terkandung di negara lain. Negara seperti itulah yang patut disebut teroris dan musuh bersama, karena ia akan melakukan berbagai cara termasuk menginvasi dan mengobrak-abrik tatanan internasional yang tak sesuai dengan kepentingannya. Negara seperti ini telah banyak menyengsarakan rakyat di negara lain dengan tindakan-tindakan tersebut. Apakah menurut anda negara seperti itu patut kita jadikan sebagai musuh bersama?

KEPUSTAKAAN

Duke, David. (2004). Mengapa Amerika (Mau) Diserang Lagi?. Jakarta: Penerbit Kalam Indonesia

Friend, T. (2003). Indonesia Destinies. Harvard University Press

Jackson, Robert & Sorensen, George. (2013). Introduction to International Relations 4th Edition. New York: Oxford University Perss Inc.

Mann, M. (2003). Incoherent Empire. London: Verso

Mansbacah, Richard W. & Refferty, Kirsten L. (2008). Introduction to Global Politics. London & New York: Routledge

Mao’s Great Leap Forward ‘Killed 45 Million in Four Years’. www.independent.co.uk/arts-enetertainment/books/news/maos-great-leap-forward-killed-45-million-in-four-years-2081630.html. Diakses pada 1 Juni 2016

McFarland, Matt. The 12 Threats to Human Civilization, Ranked. www.washingtonpost.com/news/innovations/wp/2015/02/20/the-12-threats-to-human-civilization-ranked. Diakses pada 2 Juni 2016

Mubah, Sfril A. (2007). Menguak Ulah Neokons: Menyingkap Agnda Terselubung Amerika dalam Memerangi Terorisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Mubarok, Mubarok. (2010). Stigmatisasi Pemeberitaan Terorisme di Media Massa. Semarang: Universitas Diponogoro. http://eprints.undip.ac.id/38355. Diunduh pada 2 Juni 2016

Mueller, J. (2004). The Remnants of War. New York: Cornell University Press

Sihbudi, M. Rizal. (1994). Bara Timur Tengah: Islam, Dunia Arab, Iran. Bandung: Mizan

Vickers, Adrian. (2005). A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press

About Yopi Makdori

Diberdayakan oleh Blogger.