Ilustrasi: Pxfuel.com
Oleh Muhammad Iskandar Syah
Detasemen
Khusus 88 (Densus 88) menangkap “terduga” teroris Siyono (39 tahun) warga Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Klaten
pada Selasa, 8 Maret 2016. Penangkapan tersebut merupakan pengembangan dari
tersangka T alias W (Detik.com, 12/3/2016). Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti
menegaskan bahwa Siyono yang memiliki nama samaran Afif itu merupakan bagian
dari kelompok teror Jamaah Islamiyah (JI). Menurut Badrodin, Siyono bergabung dengan JI sejak tahun 2001
dan terlibat di dalam sejumlah aksi teror. "Dia kelompok JI sudah lama. Dia itu simpan senjata
api," ujar Badrodin di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (Kompas.com,
30/3/2016).
Pada Jumat, (11/03) Siyono dikabarkan
meninggal, pihak Sekdes Pogung, Desa domisili Siyono mengkonfirmasi hal tersebut
“Kami menerima kabar kematian (Siyono) itu dari perangkat desa yang ikut
mendampingi keluarga. Keluarganya memang sudah diminta untuk ke Jakarta sejak
kemarin. Saya dapat kabar memang meninggal dan diminta mempersiapkan pemakaman”.
Menurut keterangan Polisi Republik Indonesia (Polri), Siyono tewas diakibatkan
karena tersangka melakukan perlawanan terhadap anggota (Densus 88) dan
menyerang anggota yang mengawal dan akhirnya terjadi perkelahian di dalam mobil
(Detik.com, 12/3/2016).
Kejanggalan-kejanggalan pun menyelimuti benak keluarga
Siyono, seperti yang diungkapkan oleh kuasa hukum keluarga Siyono, Sri Kalono,
bahwa pada jasad Siyono terlihat luka lebam di kedua mata, pelipis, pipi,
sebelah kanan dan dahi bagian kanan. Selain itu juga, tulang hidung patah dan
kedua kakinya bengkak. Ditambah lagi, “Sampai detik ini tidak ada satu lembar
surat pun yang dikeluarkan dari institusi yang menangkap atau yang menyebabkan
kematian Siyono. Apakah dari Densus atau dari mana itu belum tahu. Jadi belum
ada surat secara formal yang diterima keluarka,” ujar Marso, ayah Siyono
melalui kuasa hukumnya (Radarsolo.co.id, 14/03/2016).
Kematian Siyono terlihat
begitu janggal, pasalnya menurut Endro Sudarsono, Sekretaris The Islamic
Study and Action Center (ISAC) tatkala diwawancarai Radar Solo
mengungkapkan bahwa saat penangkapan Siyono dalam keadaan sehat walafiat.
Sebab itu, tim Densus 88 harus jujur dan sportif terkait penyebab kematian
terduga teroris.
Dari fakta-fakta tersebut Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Kekerasan
(KontraS) menduga ada penyiksaan yang terjadi terhadap Siyono dan
meminta Polisi menyelidiki kembali dan menindak pelakunya. Selain itu, KontraS
juga mencatat beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh Densus 88 saat
penangkapan Siyono, antara lain pelanggaran administrasi, petugas tidak
menunjukan surat perintah baik pada saat penangkapan maupun saat menggeledah
rumah Siyono (Tempo.co, 26/03/2016).
Perang
Melawan Teror bersama Densus 88
Detasemen Khusus 88 atau lazim
dilafalkan dengan Densus 88 dibentuk setelah peristiwa Bom Bali 2002 yang
merupakan salah satu peristiwa terorisme di Indonesia yang menjadi perhatian
dunia (Hamish dalam Sydney Morning Herald, 31/5/2008, hal. 17). Cikal bakal
dari detasemen ini bermula dari Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Terorisme. Inpres tersebut bukan tanpa alasan dikeluarkan oleh
Presiden, berkaca dari maraknya aksi teror bom yang terjadi di Indonesia sejak
2001. Aturan tersebut kemudian dipertegas dengan diterbitkannya paket Kebijakan
Nasional terhadap pemberantasan Terorisme dalam bentuk Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 dan 2
Tahun 2002 (Tempo.co, 8/3/2013). Perintah tersebut kemudian direspons oleh
Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan dengan membentuk Desk Koordinasi
Pemberantasan Terorisme pada 2002.
Desk ini
langsung di bawah koordinasi Menteri Koordinasi Politik dan Keamanan.
Desk ini berisi kesatuan Antiteror Polri, yang dikenal dengan Detasemen C
Resimen IV Gegana Brimob Polri, dan tiga organisasi antiteror TNI dan Intelijen.
(Muradi dalam Densus 88 AT: Konflik, Teror dan Politik, 2012). Detasemen ini
resmi dioperasikan pada 2003 melalui Surat Keputusan Kepolisi Republik Indonesia
No. 3/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, hal tersebut sekaligus menandai
Indonesia siap melawan terorisme (Bill dalam Asia Times, 16/6/2007).
Sekitar dua bulan setelah Densus 88 didirikan, kesatuan ini langsung mendapatkan pekerjaan menyusul terjadinya
serangan bom mobil di Hotel JW Mariot,
Selasa, 5 Agustus 2003. Dalam tempo beberapa minggu Densus 88 berhasil
menangkap jaringan teroris pengeboman Hotel JW Mariot. Hal itu yang membuat
kinerja Densus begitu memuaskan di mata publik. Kesatuan ini makin dipandang
dunia tatkala berhasil menembak mati gembong teroris asal Malaysia Dr Azhari di
Malang. Prestasi lainnya dari kesatuan ini tatkala mereka berhasil membongkar
jaringan teroris Jawa Tengah.
Usai membongkar jaringan Jawa Tengah, Densus 88
berhasil menangkap dan melumpuhkan Abu Dujana alias Ainul Bahri, Komandan Sayap
Militer Jamaah Islamiyah, serta pimpinan JI lainya, Zarkasih Amir (Detik.com,
30/4/2010). Berdirinya Densus 88 seakan
mempertegas posisi Indonesia dalam Global War on Terrorism-nya Amerika
Serikat, pasalnya pada saat itu Amerika Serikat cenderung menerapkan kebijakan
luar negeri yang biner, terlihat dari pidato Presiden George H.W. Bush pada 20
September 2001 di depan Kongres, yakini:
“Our war on terror begins with al-Qaida, but it does not end there. It will not end until every terrorist group of global reach has been found, stoped, and defeated. Every nation in every region now has a decision to make: either you are with us, or you are with the terrorist. From this day forward, any nation that continues to harbor or support terrorist will be regarded by the United States as a hostile regime,” (September11news.com).
Maka tak heran jika Amerika Serikat sebagai negara yang
mendeklarasikan dirinya sebagai musuh nomer satu terorisme mendukung upaya
Indonesia untuk membentuk kesatuan antiteror. Dukungan tersebut berupa dukungan
pendanaan, pelatihan dan juga persenjataan modern. Menurut Dynno Chressbon,
seorang pengamat militer dan intelijen keberhasilan yang ditunjukkan Densusu 88
dalam setiap misi tak terlepas dari pelatihan dari CIA, FBI National Service
Australia dan jaringan intelijen Barat lainnya serta ditunjang oleh aneka
peralatan canggih, seperti senapan serbu Colt M4 5.56 mm, Steyr AUG, Armalite
AR-10, GPS, mesin pengacak sinyal dan masih banyak lagi yang lainnya (Detik.com,
30/4/2010).
Selain Amerika Serikat, Densus 88 juga didukung oleh Australia
sebagai negara yang warga negaranya paling banyak menjadi korban dalam Bom Bali
2002. Terkait dukungan dana, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, seperti yang
dikutip dari Tempo.co, Jum’at, 25 Maret 2016, meminta Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88 membuka sumber dana yang
diperolehnya. Selain itu, kedua badan tersebut dinilai tidak terbuka terkait
aliran dana miliknya. Hal itu mendorong kecurigaan mengenai independensi dari
kedua organ tersebut. Padahal dengan adanya Undang-Undang tentang Keterbukaan
Informasi Publik seharusnya BNPT dan Densus 88 membuka aliran dananya.
Densus
88 dan Teroris
Hubungan apa yang dijalin antara
“Densus 88” dan “Teroris”? Sebelumnya kita telah mengetahui mengenai Densus 88,
lalu kemudian muncul pertanyaan apa itu “Teroris”? Dalam situs terrorismfiles.org,
dituliskan bahwa istilah terorisme mulai digunakan pada akhir abad ke-18,
terutama untuk menunjukan aksi-aksi anarkis di Eropa Barat, Rusia, dan Amerika
Serikat. Para pelaku aksi kekerasan pada masa itu percaya bahwa cara paling
efektif untuk melakukan perubahan politik revolusioner adalah dengan membunuh
orang-orang yang sedang berkuasa. Selama kurun waktu 1865-1905, sejumlah raja,
presiden, perdana menteri, dan pejabat pemerintahan terbunuh oleh penembakan
atau serangan bom (Mubah dalam Menguak Ulah Neokons : Menyingkap Agenda
Terselubung Amerika dalam Memerangi Terorisme, 2012).
Noam Chomsky mencatat: “Walaupun
istilah ini (terorisme) pernah diterapkan kepada para kaisar yang menindas
rakyat mereka sendiri dan dunia, sekarang pemakaiannya dibatasi hanya untuk
pengacau-pengacau yang mengusik pihak yang kuat.” (Chomsky dalam Husaini 2003:
129). Definisi yang lebih komprehensif diberikan oleh Kent Lyne Oots yang
mendefinisikan terorisme sebagai : 1. Sebuah aksi militer atau psikologis yang
dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau membuat kehancuran ekonomi atau
material, 2. Sebuah metode pemaksaan tingkah laku pihak lain, 3. Sebuah tindakan
kriminal bertendensi mencari publisitas, 4. Tindakan kriminal bertujuan
politik, 5. Kekerasan bermotif politis, 6. Sebuah tindakan kriminal guna meraih
tujuan politis atau ekonomis (Oots dalam Shibudi 1993: 94). Akan tetapi,
menurut Chomsky dalam Mubah, penggunaan istilah terorisme memiliki sifat yang
amat subjektif. Terorisme bagi satu pihak sama dengan gerakan pembebasan, atau
bahkan pahlawan. Bagi Israel, Yasser Arafat adalah teroris, namun bagi bangsa
Palestina, ia merupakan seorang sosok pahlawan.
Di sini perlu ditekankan bahwa makna
asal terorisme bukan saja ditunjukkan pada segerombolan orang yang merongrong
penguasa akan tetapi juga ditujukan kepada para penguasa dan alatnya yang menindas rakyat. Maka, dari
kalimat tersebut bisakah kita lekatkan term “teroris” kepada Densus 88?
Mengapa? Berdasarkan data Komnas HAM, Densus 88 telah membunuh 121 “terduga”
teroris (Republika.co.id, 1/4/2016). Perlu ditekankan kembali 121 orang yang
direnggut nyawanya oleh Densus 88 tersebut baru berstatus “terduga” yang belum
tentu benar keterlibatannya dengan jaringan terorisme, yang artinya siapa saja
bisa mengalami seperti apa yang dialami 121 orang tersebut. Teroris membunuh
nyawa tak berdosa demikian juga Densus 88, lalu apa perbedaan keduanya?