Ekonomi Politik Internasional

Mengenang Pembantaian Rabaa


Ilustrasi:Wikimedia.org


Yopi Makdori

“We believed in our right to exercise democracy, that the Egyptian people that wowed everyone with their revolution have the right to live their lives in the way they want to.”—dr. Hanan Al-Amin

 

Senin, 14 Agustus 2017, tepat empat tahun tragedi pembantaian berdarah yang terjadi di luar Masjid Rabaa Al-Adawiya, Kairo, Mesir. Peristiwa tersebut bermula ketika lebih dari 86.000 orang melakukan aksi damai di pelataran Masjid Rabaa Al-Adawiya untuk memprotes kudeta militer Mesir atas presiden yang dipilih secara demokratis, Muhammad Mursi pada 3 Juli 2013. Aksi protes tersebut dimotori oleh kelompok Islamis Muslim Brotherhood atau Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi tempat Mursi bernaung.

Tepat pagi hari, sekitar pukul enam pagi pada hari pembantaian tersebut, pasukan keamanan—terdiri dari tentara dan polisi—mulai menyerang para demonstran. Pasukan keamanan menembaki kerumunan para demonstran secara membabi-buta. Tenda para demonstran juga dilempari dengan gas air mata oleh para pasukan keamanan membuat orang-orang keluar berhamburan. Setelah itu kendaraan berat dan militer juga merangsek ke kerumunan massa aksi. Aksi damai yang sudah dilakukan selama 47 hari tersebut berujung pada tewasnya sekitar 1.000 orang demonstran, ribuan lainnya luka-luka dan lebih dari 800 orang ditahan.

Pasca tragedi tersebut, tokoh liberal seperti seorang penulis Mesir, Alaa Al-Aswany justru menyokong peristiwa pembantaian itu, ia mengatakan bahwa “Mereka semua merupakan teroris dan fasis” [1]. Sungguh perkataan yang sangat memalukan dari mulut seorang intelektual Mesir.

Pengakuan dari seorang dokter yang secara langsung menyaksikan peristiwa tersebut sungguh sangat menggetarkan hati. Ialah dr. Hanan Al-Amin, salah seorang dokter yang sedang bertugas jaga di klinik yang sengaja dibuka di sana untuk menangani para demnostran yang sudah berhari-hari melakukan unjuk rasa. Saat peristiwa pembantian tersebut terjadi, klinik tempat dr. Hanan bertugas banyak dibanjiri oleh pasien. Saat itu, dr. Hanan dan rekan-rekannya sedang melakukan operasi terhadap seorang demonstarn yang tertembak peluru di bagian hati, limpa, dan bagian diafraganya. 

dr. Hanan menemukan enam peluru bersarang di tubuh pasien tersebut. Namun saat operasi tengah dijalankan dan perut si pasien tersebut sudah dalam keadaan menganga, pasukan keamanan pemerintah Mesir merangsek masuk ke dalam ruangan klinik, serta memaksa para dokter dan para petugas medis di sana untuk segera meninggalkan tempat kerjanya.

dr. Hanan telah mengatakan bahwa ia tidak bisa meninggalkan pasien-pasiennya—sambil menunjuk ke arah tiga pasien yang sedang merintih kesakitan karena peluru tengah bersarang di tubuh mereka. Namun ucapan dokter tersebut tidak digubris oleh pasukan keamanan, mereka justru menembak ketiga pasien tersebut tepat di jantung mereka [2].

dr. Hanan mengungkapkan bahwa ia tidak pernah menyangka jika masyarakat Mesir yang melakukan demonstrasi untuk meminta haknya akan dilukai oleh tentaranya sendiri yang seharusnya menjaga dan melindungi mereka. Ia juga menceritakan bahwa kala itu, mobil ambulance dilarang untuk memasuki area Masjid Rabaa Al-Adawiya untuk menolong para korban. Tak hanya sampai di situ, otoritas Mesir juga telah melarang rumah sakit-rumah sakit yang berada di sekitar masjid tersebut untuk menerima pasien para demonstran.

Selain itu otoritas Mesir juga menginstruksikan apotek-apotek di sana untuk melarang memasok obat-obatan kepada para demonstran. Saat itu, dr. Hanan dibawa keluar dari lokasi pembantaian oleh salah seorang pasukan keamanan, di saat yang sama, ia melihat dari kejauhan ribuan orang terluka dan mereka masih terus dihujani peluru oleh para pasukan keamanan, bahkan para demonstran ada yang dibakar hidup-hidup [3].

Hanan Al-Amin juga mengungkapkan bahwa ada salah satu petugas yang melakukan penguburan massal dengan bulldozer mengatakan bahwa ia telah mengubur 700 orang dan di antara mereka ada yang masih hidup namun dikubur begitu saja. Atas dasar ini dr. Hanan meyakini jika korban tewas mencapai lebih dari 1.000 orang. 

Menurutnya, pasukan keamanan rezim al Sisi memiliki tiga tujuan utama dalam tragedi 14 Agustus tersebut, yaitu pertama, mereka ingin memusnahkan semua demonstran yang berada di sana; kedua, mereka ingin mengirim pesan peringatan kepada siapa pun yang menentang rezim; dan ketiga, mereka ingin mencitrakan bahwa peristiwa tersebut sebagai kemenangan militer Mesir [4].

Begitulah gambaran mengerikannya peristiwa pembantaian massal yang dilakukan oleh pasukan keamanan Mesir. Setelah bertahun-tahun peristiwa itu terjadi, masih ada sisa-sisa pertanyaan yang belum bisa dijawab hingga saat ini, salah satunya adalah mengapa dunia internasional—terutama Barat yang diwakili oleh Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS)—seakan membiarkan melihat peristiwa yang menurut dr. Hanan sebagai salah satu peristiwa yang “memalukan bagi kemanusiaan” tersebut. 

Pengkhianatan terhadap kemanusiaan juga terlihat dari minimnya respons komunitas internasional—baik yang diwakili oleh organisasi regional maupun internasional—terhadap isu tersebut. Upaya investigasi serius hanya dilakukan oleh Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International (AI), dan UN Human Rights Council padahal sudah jelas bahwa tragedi yang terjadi di sana merupakan suatu kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan bisa digolongkan sebagai tindakan genosida.

Temuan HRW

Pada 12 Agustus 2014, Human Rights Watch (HRW) merilis sebuah laporan yang terkait dengan tragedi Rabaa. Dalam laporannya HRW mengungkapkan bahwa apa yang terjadi di sana bukan hanya melanggar HAM, melainkan juga sudah masuk dalam ranah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sedangkan UN Human Right Council mengadopsi sebuah Universal Periodic Review (UPR) kepada Mesir hasil olahan 122 negara di badan tersebut. Di dalam UPR itu juga termuat 300 butir rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah Mesir supaya meningkatkan kondisi HAM di negaranya. 

Namun demikian, sejak disetujuinya rekomendasi tersebut pada November 2014, hingga detik ini tidak ada kemajuan yang berarti terkait HAM di negara tersebut. Keadaan justru sebaliknya, pemerintah Mesir semakin represif terhadap lawan-lawan politiknya [5].

Laporan dari Amnesty International (AI) tak jauh berbeda, menurut organisasi ini yang sudah lama memantau situasi terkait HAM di sana, mengungkapkan bahwa dari hari ke hari kondisi HAM di Mesir semakin memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari dibatasinya kebebasan untuk berekspresi, kebebasan untuk berserikat, mengkritik rezim, hukuman mati terhadap lawan-lawan politik rezim dan lain-lainnya [6].

Lebih menyakitkan lagi bagi kemanusiaan adalah ketika kita mengetahui bahwa hingga saat ini, tidak ada pihak yang bisa diadili atas tindakan biadab di Rabaa tersebut. Para pembantai dan otak dibalik hal tersebut masih mencengkram Mesir dengan kuat. 

Tanpa adanya komitmen dari negara-negara di sekitar dan kekuatan-kekuatan supra nasional, maka tidak akan pernah ada keadilan di negeri tersebut. Barat yang selama ini selalu mempromosikan HAM dan demokrasi pun seakan buta dan tuli melihat kondisi di Mesir. Hal tersebut tidaklah mengherankan, karena dalam politik internasional tidak ada yang namanya HAM maupun DEMOKRASI, yang ada adalah hanya apakah HAM dan DEMOKRASI tersebut menguntungkan “kita” atau tidak.

END NOTE

[1] https://www.middleeastmonitor.com/20170814-remembering-the-rabaa-massacre/. Diakses pada 15/08/2017
[2] https://www.middleeastmonitor.com/20170814-rabaa-field-doctor-they-burned-them-dead-and-alive/. Diakses pada 15/08/2017
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] https://www.middleeastmonitor.com/20170814-a-question-on-the-anniversary-of-rabaa/. Diakses pada 15/08/2017

About Yopi Makdori

Diberdayakan oleh Blogger.