Ilustrasi: Piqsels.com
Yopi Makdori
Sebelum kita beranjak ke pembahasan menangani isi pikiran para neokons, alangkah baiknya kita terlebih dahulu mengetahui apa itu neokonservatif dan akar sejarah singkatnya. Sebutan neokonservatif pertama kali diperkenalkan oleh seorang intelektual Amerika yang bernama Michael Harrington. Ia memperkenalkan istilah tersebut pada dekade 1970-an untuk menyebut mereka yang (kelompok) yang semula berpaham liberal lalu beralih ke paham konservatif. Kelompok ini disebut Harrington sebagai kelompok “konservatif baru”.
Kemunculan kelompok neokons dapat ditelusuri dari dekade 1960-an. Embrio kelompok ini terlacak saat Amerika Serikat mengadakan pemilihan presiden tanggal 3 November 1964. Dalam pemilu tersebut, ada dua calon presiden dari dua partai besar, yakini Lyndon B. Johnson (Demokrat) dan Barry Goldwater (Republik). Johnson merupakan kandidat yang disokong oleh kalangan liberal, sedangkan lawannya merupakan eksponen konservatif.
Singkat cerita Johnson memenangkan kontestasi politik tersebut, ia memenangkan pemilu dengan perolehan suara popular vote sebanyak 43.127.041 (61,1%), sedangkan lawannya hanya 39,5% saja. Johnson menguasai 44 dari 50 negara bagian AS dan hal ini membuat ia memperoleh kemenangan telak dalam electoral vote dengan memperoleh suara sejumlah 486 suara, sedangkan lawannya hanya 52 suara.
Pada saat itu, AS sedang dirundung fenomena yang kerap kali dialami oleh negara besar, yakini disintegrasi, yaitu segregasi sosial antara kulit putih dan kulit hitam. Selain permasalahan tersebut, AS juga dihadapkan dengan masalah ekonomi, yakini ketimpangan yang begitu besar di AS. Melihat kondisi tersebut, pada 1965 Presiden Johnson menggagas sebuah program yang disebut “The Great Society” yang diharapkan bisa menjadi jalan keluar bagi permasalahan yang dihadap negaranya. Upaya yang dijalankan dalam program tersebut adalah meningkatkan kualitas pendidikan, mengatasi kemiskinan, dan menyediakan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat AS tanpa melihat warna kulit.
Singkat cerita, dalam jangka waktu pendek program yang digulirkan oleh Presiden Johnson tersebut terbilang berhasil. Keberhasilan tersebut membuat masyarakat AS semakin mendukung pemerintahan Johnson. Namun demikian, dukungan tersebut mulai melemah pada tahun 1966 dikarenakan banyak program yang kekurangan dana dan beberapa di antaranya tidak memenuhi harapan.
Pada saat itu, beberapa kalangan liberal yang berada di belakang Johnson menilai bahwa program The Great Society merupakan program pemborosan anggaran tanpa hasil maksimal. Selain itu, banyak ide dari program Johnson yang tidak disepakati oleh beberapa kalangan liberal sehingga memunculkan perselisihan di antara mereka. Kalangan liberal (calon neokons) lebih senang mengusung ide tentang kebebasan hak warga sipil serta integrasi sosial dan persamaan hak. Perlu diketahui bahwa penentang program Johnson merupakan beberapa tokoh intelektual berpengaruh, seperti Irving Kristol, Norman Podhoretz, dan Jeane Kirkpatrick. Maka atas dasar itu, tokoh-tokoh liberal yang berbeda haluan dengan kubu Johnson akhirnya bereksodus ke kubu konservatif dan inilah cikal bakal neokonservatif muncul.
Prinsip pemikiran yang digunakan oleh para neokons banyak berpijak pada pemikiran filsafat politik Chicago University yang merupakan imigran Yahudi Jerman, Leo Strauss (1899-1973). Kenneth Weinstein memandang Strauss the philosopher king dari gerakan neokonservatif (Weinstein dan Stelzer, 2004). Namun demikian, Staruss bukanlah seorang neokonservatif, ia merupakan konservatif tulen yang mempengaruhi para neokons.
Semasa hidupnya Strauss sebenarnya tidak pernah ikut dalam gerakan politik, namun banyak muridnya, seperti Kristol, Podhoretz, Kirkpatrick, Martin Diamon, serta para pengikutnya yakini Paul Wolwofitz, Abraham Shulsky dan Charnes Lord yang terpengaruh oleh pemikirannya. Menurut Weinstein dan Stelzer (2004), Staruss memandang dirinya sebagai teman dari demokrasi liberal, bagi dirinya demokrasi libreal merupakan sistem pemerintahan terbaik yang dapat direalisasikan. Ia menilai bahwa demokrasi liberal adalah satu-satunya alternatif bagi manusia modern dan AS dilihat oleh Staruss sebagai republik demokrasi. Starus juga amat benci akan paham komunisme (Kristol, 1995).
Tokoh lain yang pemikirannya dijadikan rujukan oleh kelompok neokonservatif adalah Leo Trotsky (1879-1940), intelektual sosialis Uni Soviet ini merupakan tokoh penting dalam persitiwa Revolusi Bolsheviks yang menggulingkan Tsar Rusia pada Oktober 1917. Dalam peristiwa tersebut, Trotsky bersama Lenin meggerakkan dan mengorganisasi Red Army untuk menjatuhkan Tsar Nicholas dari tampuk kekuasaannya. Trotsky bercita-cita untuk menyebarkan komunisme ke seantero dunia, namun cita-cita tersebut berantakan saat Stalin memimpin Uni Soviet.
Pada masa kepemimpinan Stalin, Soviet terisolasi dari pergaulan dunia yang imbasnya membuat keadaan ekonomi negara itu terpuruk. Situasi tersebut diperparah lagi dengan upaya elit birokrat untuk mengontrol masyarakat kelas pekerja. Bagi Trotsky, apa yang dilakukan oleh Stalin telah melenceng jauh dari tujuan Revolusi Oktober. Oleh karena itu, ia menentang rezim Stalin sehingga dipandang anti-Stalin.
Trotsky mempunyai impian untuk menyebarkan revolusi sosialis ke seluruh dunia. Ia percaya bahwa negara sosialis baru tidak akan mampu melawan tekanan kapitalis dunia jika revolusi sosial tidak secara cepat digerakan ke banyak negara. Dalam negara yang belum mengalami revolusi, kaum proletar perlu melakukan revolusi permanan. Melalu idenya tentang “Fourth International”, Trotsky lalu menggagas sebuah revolusi sosial dunia. Dalam “permanent revolution”, Trotsky percaya bahwa revolusi sosialis hanya akan berhasil apabila revolusi itu meluas hingga ke luar batas Rusia yang berujung pada runtuhnya kekuatan kapitalisme Eropa dimanapun kekuatan itu berada (Rodee et. al, 2000).
Para penganut paham Trotsky (Trotskyist) percaya bahwa upaya yang dilakukan Stalin untuk membangun sosialisme di satu negara dari pada menggagas revolusi dunia telah menciptakan negara pekerja yang buruk. Pada 1939 gerakan Trotskyist terpecah, satu fraksi di bawah James Burnham dan Max Shactman yang mendeklarasikan diri untuk menentang Nazi Jerman dan komunisme Uni Soviet. Saat Burnham keluar dari gerakan ini, Shactman tetap konsisten menyuarakan penentangannya terhadap Nazi dan komunis sehingga ia memiliki banyak pengikut yang menamakan diri Shactmanites (Foreign Affairs, 1 Juli 1995).
Secara sekilas tidak ada hubungan antara trotskyisme dengan neokonservatif, justru malah sebaliknya terdapat banyak perbedaan di antara keduanya. Trotskyisme menekankan pada sosialis, sedangkan neokonservatif pada demokrasi. Namun memang letak kesamaan antara torotskyisme dan neokonservatif bukanlah pada paham yang mereka emban, namun pada ambisi untuk menyebarkan paham mereka ke seluruh dunia. Impian Trotsky tentang revolusi sosialis dunia diadopsi oleh kalangan neokonservatif untuk menyebarkan demokrasi-kapitalis ke seluruh dunia. Dari sini terlihat bahwa terdapat kesamaan ambisi, yakini penyebaran paham mereka ke seluruh dunia. Ada semacam pembalikan ide dari sosialis ke demokrasi-kapitalis, maka karena hal ini kelompok neokons kerap kali dijuluki sebagai trotskyisme terbalik (inverted trotskyism) yang bertujuan mengekspor demokrasi-kapitalis dan trotskyist mengekspor sosialis.