Ilustrasi: Pxfuel.com
Yopi Makdori
Beberapa pihak yang sekilas melihat konflik di Yaman menganggap bahwa konflik tersebut tentang Saudi dan Iran. Kemudian berangkat dari hal itu, mereka menginterpretasikan dengan dasar yang dangkal bahwa konflik di sana mengenai Sunni dan Syiah. Faktanya memang terdapat dukungan Iran secara politik terhadap kelompok Houthi, namun dukungan finansial dan persenjataan sangatlah terbatas.
Sejak kelompok itu berhasil menduduki Sana'a, Houthi digambarkan sebagai kelompok backing-an Iran dan seketika isu sektarian dihembuskan. Perang disana dipersepsikan sebagai perebutan pengaruh antara Sunni dan Syiah. Hal tersebut dihembuskan oleh berbagai media yang kerap kali menyematkan kata "Syiah" di setiap pemberitaan tentang kelompok ini. Padahal sebelum periode Arab Spring yang juga menimpa Yaman pada 2011 lalu, term Syiah tidak pernah digunakan untuk menjuluki suatu kelompok atau individu di sana.
Selain itu juga, kelompok Houthi tidaklah mengikuti dua belas Imam Syiah seperti Syiah pada umumnya. Kelompok ini malah cenderung lebih dekat kepada Sunni dibandingkan dengan Syiah. Mayoritas kelompok ini memang menganut paham Syiah Zaidiya, namun tidak memiliki ikatan solidaritas dengan komunitas Syiah, seperti layaknya penganut Syiah pada umumnya [1].
Mareike Transfeld dalam artikelnya yang dipublikasikan dalam Tahrir Forum, salah satu kanal dalam The Cairo Review, pada 15 Februari 2017, menyatakan bahwa meskipun dalam kebijakan luar negeri Iran kerap kali mendukung aktor non-negara (non-state actors) demi kepentingan negara itu untuk menjaga ataupun memperluas pengaruhnya, namun kepada kelompok Houthi, dukungan tersebut begitu terbatas, kalau tak mau dibilang sangat minim [2]. Dukungan tersebut sebagian besar hanya dalam bentuk pelatihan militer oleh Iran dan Hizbullah [3].
Laporan dari Conflict Armament Research (CAR), sebuah NGO yang menyoroti isu persenjataan dalam sebuah konflik menyebutkan bahwa pada Oktober 2016, tim investigasi CAR berhasil mendokumentasikan sebuah persenjataan milik pasukan kepresidenan Uni Emirats Arab. Mereka (pasukan kepresidenan) mengklaim bahwa senjata-senjata tersebut didapatkan dari pasukan Houthi yang berhasil mereka lucuti persenjataanya. Beberapa senjata tersebut termasuk Dehlavieh ATGW yang diproduksi Iran pada 2015 dan Kornet ATGW produksi Rusia. Namun demikian, tim investigasi CAR tidak bisa memverifikasi klaim tersebut [4].
Beberapa klaim lain pun sangat sulit untuk dibuktikan, mengingat bahwa Arab Saudi telah melakukan blokade terhadap Yaman sejak ia melakukan intervensi di sana pada Maret 2015 lalu. Blokade yang dilakukan Saudi dan koalisinya terhadap Yaman membuat aktivitas penyelundupan senjata yang masuk ke negara itu begitu sulit terjadi. Klaim yang mengatakan bahwa kelompok ini mendapatkan persenjataan lewat selundupan melalui Oman juga ditentang oleh Sultan Oman [5]. Selain itu, wilayah Yaman yang berbatasan dengan Oman juga merupakan wilayah yang diluar kendali Houthi, maka begitu mustahil kelompok ini mendapatkan persenjataan dari wilayah perbatasan Yaman-Oman. Bantuan yang kentara adalah bantuan dalam bentuk propaganda media massa yang termanifestasi dalam bentuk Al Masirah, stasiun TV yang dikendalikan Houthi. Stasiun TV tersebut disiarkan dari Beirut dan dibantu oleh Hizbollah.
Namun menurut Transfeld [2], dalam bentuk apapun bantuan Iran kepada Houthi sama sekali tidak mempengaruhi ataupun memberikan andil bagi keputusan Houthi untuk menduduki ibu kota Yaman, Sana'a pada September 2014 lalu. Hal ini diperkuat juga dari sumber diplomatik AS yang juga didukung oleh analis Iran yang kredibel, yang menyatakan bahwa Iran mencegah (dalam bentuk saran) Houthi untuk mengambil alih ibu kota Yaman. Namun kelompok itu tidak mengindahkan seruan Iran tersebut [6]. Transfeld juga menyebutkan bahwa keputusan yang dibuat oleh kelompok itu lebih didominasi oleh dorongan faktor-faktor domestik (local factors). Seperti saat kelompok itu berani untuk menduduki pemerintahan Presiden Abd Rabu Mansour Hadi karena melihat realitas saat itu yang menunjukan bahwa Presiden Hadi tengah menghadapi krisis legitimasi. Perlu diketahui bahwa Presiden Hadi merupakan presiden pengganti Presiden Saleh yang berhasil digulingkan saat peristiwa Arab Spring melanda negeri itu di tahun 2011. Hadi sendiri pernah menjadi wakil presiden di era kepemimpinan Presiden Saleh. Di era Hadi ini inklusivitas politik yang saat itu didambakan oleh rakyat Yaman tidak terpenuhi. Ditambah lagi, kondisi kehidupan yang lebih baik bagi warga Yaman tidak bisa direalisasikan di masa kepemimpinan Hadi.
Krisis legitimasi mulai mendapatkan momentumnya kala pemerintahan Hadi mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak kepada rakyat Yaman pada Juli 2014. Kenaikan bahan bakar yang mencapai 90% itu membuat tingkat ketidakpercayaan rakyat Yaman kepada pemerintahnya semakin meningkat tajam. Kondisi semakin diperparah oleh seringnya pemadaman listrik yang menimpa negara itu, dan juga kondisi ekonomi yang semakin memburuk dari hari ke hari. Ditambah lagi, tingkat pengangguran yang tinggi di sana membuat kondisi yang sangat mendukung bagi terjadinya kemarahan terhadap pemerintahan Hadi.
Melihat realitas tersebut, kelompok Houthi menemukan momentumnya. Akhirnya kelompok ini berhasil memanfaatkan kondisi yang terjadi di sana kala itu sebagai sarana untuk memobilisasi massa melawan Hadi. Saat itu, kondisi psikologis rakyat Yaman menganggap bahwa semua oknum di pemerintahan terlibat dalam korupsi, dan satu-satunya kelompok yang tidak dipandang seperti itu hanyalah Houthi. Pada titik inilah kelompok tersebut berhasil menggalang dukungan dari rakyat Yaman.
Houthi juga mendapat dukungan secara tidak langsung dari mantan Presiden Saleh kala itu. Sebelum kemudian Saleh dibunuh oleh kelompok itu beberapa saat yang lalu. Sebelumnya kubu Saleh berada di barisan Houthi, militer yang masih loyal terhadap mantan presiden itu diinstruksikan untuk berperang melawan kubu Hadi bersama Houthi. Bukan hanya sampai di situ, bergabungnya militer loyalis Saleh membuat kelompok itu bisa mengakses persenjataan yang dimiliki oleh kubu loyalis mantan presiden tersebut [7].
Saat Houthi berhasil mengambil alih Sana'a pada 2014, Iran mulai berusaha untuk mendekati dan mempererat hubungan dengan kelompok ini. Di saat yang sama, Houthi juga dikucilkan oleh Barat. Dalam keadaan seperti itu, pastilah Houthi tidak memiliki alternatif lain selain menerima bantuan dari Iran. Memang benar bahwa beberapa saat setelah Houthi menduduki Sana'a salah satu anggota parlemen Iran, Alireza Zakani menyatakan jika Sana'a merupakan kota keempat yang bergabung dengan Revolusi Iran, setelah Beirut, Baghdad, and Damaskus [8]. Pada November 2016 juga, salah satu petinggi pasukan bersenjata Iran menyarankan negaranya untuk mendirikan pangkalan armada laut di Yaman [9]. Namun begitu, itu semua tidak lebih dari hanya sebuah klaim sepihak oleh Republik Islam tersebut.
Maka dengan demikian, Transfeld melihat bahwa pada dasarnya konflik di sana bukanlah mengenai Sunni-Syiah, namun jauh dari itu, konflik di sana tentang pertempuran antara aliansi Saleh-Houthi--sebelum kemudian terpecah ketika Saleh terbunuh--dan Hadi (pemerintah) yang didukung oleh Saudi [2]. Seperti yang telah disebutkan bahwa alasan Houthi mendekat kepada Iran pada dasarnya karena tidak mempunyai alternatif lain, saat Barat mengisolasi mereka, maka aliansi Saleh-Houthi berusaha mendapatkan dukungan dari salah satu kekuatan yang merupakan rival Saudi di sana, yakini Iran. Namun sayangnya, saat ini Houthi bukanlah prioritas bagi Iran--bagi Iran, Houthi dirasa tidak menjamin kesetiaanya terhadap Tehran. Namun dengan semakin intensifnya Washington ikut terlibat di Yaman dengan jastifikasi membendung pengaruh Iran di sana, akhirnya memaksa Houthi untuk mendekat ke kubu Iran.
REFERENSI
[1] Bernard Haykel. [1993]. "Al-Shawkâni and the Jurisprudential Unity of Yemen". Didownload melalui http://www.persee.fr/doc/remmm_0997-1327_1993_num_67_1_1587, pada 27/12/2017
[2] Mareike Transfeld. [15 Februari 2017]. "Iran’s Small Hand in Yemen". Diakses melalui https://www.thecairoreview.com/tahrir-forum/saudi-arabia-is-not-sunni-central/, pada 27/12/2017
[3]"Lebanon’s Hizbollah and Yemen’s Houthis". Diakses melalui https://www.ft.com/content/e1e6f750-f49b-11e4-9a58-00144feab7de, pada 27/12/2017
[4] Conflict Armament Research Report. [November 2016]. "Maritime Interdictions of Weapon Supplies to Somalia and Yemen". Didownload melalui http://www.conflictarm.com/download-file/?report_id=2444&file_id=2445, pada 27/12/2017
[5] Yara Bayoumy dan Phil Stewart. [20 Oktober 2016]. "Exclusive: Iran steps up weapons supply to Yemen's Houthis via Oman - officials". Diakses melalui https://www.reuters.com/article/us-yemen-security-iran/exclusive-iran-steps-up-weapons-supply-to-yemens-houthis-via-oman-officials-idUSKCN12K0CX, pada 27/12/2017
[6] Ali Watkins, Ryan Grim, dan Akbar Shahid Ahmed. [20 April 2015]. "Iran Warned Houthis Against Yemen Takeover". Diakses melalui https://www.huffingtonpost.com/2015/04/20/iran-houthis-yemen_n_7101456.html, pada 27/12/2017
[7] Gareth Porter. [23 April 2015]. "Houthi arms bonanza came from Saleh, not Iran". Diakses melalui http://www.middleeasteye.net/columns/houthi-arms-bonanza-came-saleh-not-iran-1224808066, pada 27/12/2017
[8] "Sanaa is the fourth Arab capital to join the Iranian revolution". Diakses melalui https://www.middleeastmonitor.com/20140927-sanaa-is-the-fourth-arab-capital-to-join-the-iranian-revolution/, pada 27/12/2017
[9] "Iran may seek naval bases in Yemen or Syria: chief of staff". Diakses melalui https://www.reuters.com/article/us-iran-navy-yemen-syria/iran-may-seek-naval-bases-in-yemen-or-syria-chief-of-staff-idUSKBN13M08M?il=0, pada 27/12/2017
0 komentar:
Posting Komentar